Abu Bakar dilahirkan di Mekkah pada tahun 573 M. Dengan nama Abdullah Ibn Abi Qahafah dari seorang ayah Abu Qahafah (dua tahun setelah kelahiran Rasulullah) yang semula bernama Usman ibn Amir. Sedangkan ibunya bernama Ummu al-Kahar yang semula bernama Salma binti Sakhr Ibnu Amir setelah masuk islam, ia diberi nama oleh Rasulullah dengan sebutan Abdullah. Sebutan lain baginya adalah Atit artinya “lolos/lepas”.
Berawal dari ibunya setiap melahirkan anak laki-laki pasti meninggal dunia.
Setelah Abu Bakar lahir, orang tuanya sangat gembira, lalu dijuluki anak laki-laki mereka dengan sebutan Abdul Ka’bah. Ketika anak itu tumbuh menjadi remaja, diberikan dengan julukan Atit menandakan seolah-olah ia lepas dari kematian. Tatkala usianya menginjak dewasa dia berdagang sebagai penjual kain dan berhasil dalam dagangannya. Pada awal masa mudanya ia menikah dengan Kutailah binti Abdul Uza, perkawinan beliau membuahkan keturunan yang diberi nama Abdullah dan Asma.
Abdullah yang Akrab dipanggil dengan Abu Bakar.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa gelar tersebut melekat sebagai nama penggilan karena beliau termasuk orang yang mula-mula memeluk islam. Sedangkan gelar ash-Shiddiq merupakan julukan yang diberikan kepadanya karena ia termasuk orang pertama membenarkan peristiwa Isra Mi’raj Nabi pada saat sejumlah masyarakat Arab tidak mempercayainya karena mengukur peristiwa tersebut dengan logika murni.
Sebelum memeluk islam, ia merupakan seorang saudagar kaya raya yang mempunyai pengaruh yang cukup besar dikalangan bangsa Arab. Namun setelah ia memeluk islam, perhatiannya sepenuhnya dicurahkan kepada islam sehingga aktivitas perdagangan yang di lakukannya hanya sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari. Beliau juga dikenal sebagai orang yang jujur dan dermawan serta senang beramal untuk kepentingan perjuangan islam. Bukti kedermawanan tersebut sebagaimana dilukiskan dalam sejarah bahwa ketika Rasulullah saw, mempersiapkan pasukan menuju Tabuk, Abu Bakar menyumbangkan semua harta yang dimilikinya dan tidak ada lagi yang tersisa.
Ketika terjadi peristiwa hijrah, Abu Bakar merupakan sahabat yang setia mengawal perjalanan Nabi hingga tiba di Madinah. Penderitaan yang dialaminya dalam peristiwa tersebut mengancaman maut yang mengintainya setiap saat, dan tidak pernah menyurutkan semangat kesetiaannya terhadap Nabi saw.
Proses Pembentukan Khalifah Abu Bakar ash-Shidiq
Berpulangnya Rasulullah saw, ke haribaan Allah swt tanggal 12 Rabiul awal tahun 11 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 3 Juni tahun 632 Masehi. Menjelang wafat beliau menyempatkan diri untuk melaksanakan shalat berjamaah di masjid dan bertemu dengan kaum muslimin. Kemudian beliau memangggil Usmah bin Zaid untuk didoakan sebelum ditugaskan memimpin pasukan kaum muslimin yang akan berperang melawan Imperial Romawi di Syam.
Beberapa saat kemudian setelah Rasulullah kembali dari masjid, tersiar berita bahwa Rasulullah saw telah wafat, kaum muslimin mengalami kebimbangan. Umar bin Khatab berpidato di hadapan segenap kaum muslimin dengan menyangkal bahwa Rasulullah belum wafat. Melainkan hanya pergi beberapa saat kepada Tuhannya kemudian akan kembali lagi. Karena itu ia mengancam kepada orang-orang yang menyebarkan informasi bahwa rasulullah saw telah wafat, akan diberi sangsi dengan hukuman potong tangan dan kaki.
Abu Bakar ash-Shidiq setelah kembali kerumahnya ia mendengar kabar bahwa Rasulullah saw wafat, maka Abu Bakar kembali bergegas ke arah masjid dan membuktikan kebenaran berita itu. Sedangkan Umar bin Khatab masih lantang berpidato membantah berita itu, ia tidak berhenti di masjid melainkan langsung ke rumah Aisyah. Tubuh Rasulullah dilihatnya sudah terbujur kaku, disalah satu ruangan samping rumah Aisyah yang sudah ditutup, dibukanya pelan-pelan sambil mencium wajah orang yang sangat dicintainya itu. Abu Bakar lalu berkata: “Alangkah indahnya hidupmu dan alangkah indahnya pula kematianmu”. Lalu Abu Bakar keluar dari rumah Aisyah menuju masjid dan berseru kepada kaum muslimin yang masih diliputi kebimbangan.
“Wahai sekalian manusia barang siapa menyembah kepada Muhammad, maka Muhammmad telah meninggal dunia dan barang siapa yang menyembah Allah, maka
ia tidak akan pernah mati selamanya” lalu Abu Bakar membaca firman Allah swt QS al-Imran (3): 144 sebagai berikut:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ (١٤٤)
Terjemahannya:
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.[9]
Mendengar ayat tersebut Umar ibn Khatab tidak berdaya. Ia terduduk lemas seolah-olah tubuhnya tidak bertulang lagi dengan ayat yang dibacakan oleh Abu Bakar bahwa ternyata Rasulullah benar-benar telah wafat.
Ayat itu merupakan bentuk penyadaran yang dilakukan Abu Bakar untuk menghilangkan keragu-raguan atas wafatnya Rasulullah saw. Abu Bakar mempunyai kebesaran jiwa tidak seperti yang dilakukan oleh Umar bin Khatab dan orang-orang islam lainnya, ia adalah manusia pilihan Rasululullah. Nampaknya Abu Bakar sangat memahami kondisi spritual kaum muslimin saat itu terutama para sahabat.
Dibalik wafatnya Rasulullah ternyata kaum anshar sedang gencar-gencarnya membicarakan pengganti Rasulullah, sementara jasad beliau belum dimakamkan. Mereka beranggapan bahwa yang layak menjadi pengganti Rasulullah adalah dari kalangan anshar karena jumlah mereka yang paling banyak, kaum anshar akan membai’at Sa’ad ibn Ubadah sebagai pengganti Rasulullah. Tetapi diantara mereka ada yang membayangkan bagaimana kalau seandainya kaum muhajirin tidak menyepakati, maka mereka akan menjawab, bukankah kaum ansar pelindung Muhammad, kalau kemudian kaum muhajirin mengatakan “mengapa kalian menuntut urusan ini setelah Rasulullah wafat”.
Mendengar jawaban itu Sa’ad ibn Ubadah sangat kaget, ingatannya menerawang ke belakang, hal ini masih diliputi suasana pertikaian dalam membicarakan pembai’atan Sa’ad, lantas dia mengatakan bukankah ini sebagai tanda kelemahan kata Sa’ad yang ditujukan kepada kaum Aus yang dinilai masih mempunyai kelemahan, ungkapan ini menurut Sa’ad bukan dari kaum Khazraj. Bukankah orang-orang Aus akan merasa iri jika dicalonkan oleh suku Khazraj sebagai penganti kedudukan Rasulullah.
Bersamaan dengan pembicaraan golongan anshar mengenai rencana kekuasaan atas seluruh kaum muslimin di Saqifah bani Sa’id, Umar Bin Khatab, Abu Ubaidah Ibn Jarrah dan beberapa tokoh sahabat lainnya sedang berbincang-bincang di masjid. Di tempat lain seperti Abu Bakar, Ali ibn Thalib serta beberapa ahlul bait sedang mengelilingi jenazah Rasulullah sambil mempersiapakan pemakaman beliau.
Umar Bin Khatab tidak pernah mengira sebelumnya, jika kaum anshar mendahului untuk membicarakan mengenai kepemimpinan kaum muslimin setelah Rasulullah wafat. Padahal beliau sedang berpikir tentang hal itu setelah merasa yakin bahwa Rasulullah wafat. Dalam buku “ath-Thalabat”, Ibnu Sa’ad menguraikan bahwa Umar bin Khatab pergi menemui Ubaidah ibn Jarrah yang dijuliki Amirul Ummah itu. Tiba-tibah Umar berkata kepada Abu Ubaidah “ Bukalah tanganmu, akan aku bai’at engkau, sebab engkau adalah Amirul Mu’minin” dari semua ucapan Rasulullah.” Dengan wajah penuh keheranan, Abu Ubaidah menjawab. Aku tidak pernah menyaksikan engkau sebodoh sekarang ini, selama aku menjadi orang islam wahai Umar. Apakah engkau membai’atku sedangkan diantara kita terdapat as-Syidiq yang merupakan orang kedua didalam gua bersama Rasulullah.
Di tengah pembicaran mereka, seseorang mendadak memberi tahu bahwa golongan anshar sedang berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah. Mendengar berita itu Umar menyuruh orang itu untuk memanggil Abu Bakar di rumah Aisyah, tetapi Abu Bakar menjawab melalui pesuruh itu: “katakan kepada Umar bahwasanya aku sibuk. Umar mengulangi perintah itu lagi, katakan kepadanya ada suatu kejadian penting yang mengharuskan Abu Bakar segera datang menemui kami.” Abu Bakar datang menjumpai Umar dengan wajah penuh keheranan ,” apakah ada urusan lain yang lebih utama dari pada mengurusi jenazah Rasulullah”?. Tanya Abu Bakar. “Apakah engkau tidak mengetahui bahwa golongan anshar sedang mengadakan pertemuan di Saqifah Bani Sa’ad untuk mengangkat Sa’ad ibn ubadah sebagai pemimpin Umat.?Kata Umar.
Setelah mendengar perkataan Umar, Abu Bakar langsung bergegas pergi ke Saqifah Bani Sa’ad bersama Umar dan Abu Ubaidah untuk menyelesaikan persoalan ini, dengan terlebih dahulu menyerahkan persiapan pemakaman Rasulullah kepada keluarga Ahlul bai’at. Karena ia memiliki kewajiban untuk menyelesaikan persoalan itu. Setelah sampai di Saqifah Abu Bakar, Umar, dan Ubaidah golongan anshar masih terlibat pembicaraan yang serius, belum ada keputusan yang dihasilkan, golongan anshar sangat terkejut melihat tamu yang tidak diundang itu, mereka diam dan diliputi kebingungan. Tiba-tiba Umar memecah keheningan suasana itu dengan menanyakan orang berkerudung yang ada di antara golongan anshar “ siapa dia?” kearah orang yang berkerudung. “Sa’ad bin Ubadah,” jawab orang-orang Anshar sambil menambahkan bahwa ia sedang sakit.
Sungguh menarik prakarsa pembentukan khalifah justru atas inisiatif kaum Anshar yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj merupakan penduduk asli Madinah. Kondisi demikian disebabkan oleh dua faktor, yaitu pertama, kaum Anshar adalah penduduk asli Madinah yang banyak menolong Nabi Saw. Dan kaum muslimin dari Mekkah. Sedangkan faktor kedua adalah sense of crisis (kepekaan terhadap Krisis) yang dimiliki kaum Anshar dalam menyikapi kekosongan kepemimpinan, yaitu hilangnnya kontrol atau kendali atas pengaruh syiar islam pada diri kaum muslimin yang terbesar di berbagai suku di Kota Mekkah, Madinah dan sebagian kecilnya Jazirah arab.
Ketika kaum muhajirin dan anshar berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah terjadi perdebatan tentang calon khalifah. Masing-masing mengajukan argumentasinya tentang siapa yang layak sebagai khalifah.
Selanjutnya Abu Bakar mengajukan dua calon yaitu Abu Ubaidah bin Jahrah dan Umar bin Khattab. Pengajuan dua calon ternyata menimbulkan kegaduhan dan perselisihan karena di antara keduanya terdapat perbedaan kualitas, terutama menyangkut wibawah dan kedudukan.
Proses pembai’atan Abu Bakar sebagai khalifah ternyata tidak sepenuhnya lancar karena ada beberapa orang yang belum memberikan ikrar seperti Ali bin Abi Thalib, Abbas bin Abdul Muthalib, Fadl bin al-Abbas, Zubair bin al-Awwam bin al-As, Khalid bin Sa’id, Miqdad bin Amir, dan sejumlah tokoh-tokoh lainnya. Telah terjadi pertemuan sebagian kecil kaum Anshar dengan Ali bin Abi Thalib di rumah Fatimah, mereka bermaksud membai’at Ali, dengan anggapan Ali lebih patut menjadi khalifah karena Ali berasal dari Bani Hasyim yang berarti “Ahlulbait” Rasulullah saw.
Keengganan Ali bin Abi Thalib serta kemungkinan adanya segelintir kaum Muhajirin dari Bani Hasyim ditepis sebagian ahli sejarah dengan kesaksian Sa’ad bin Zaid tentang tidak adanya orang yang tertinggal dalam proses pembai’atan Abu Bakar sebagai khalifah.
Setelah Abu Bakar terpilih menjadi khalifah, Abu Bakar kemudian menyampaikan pidato yang memuat pernyataan antara lain :
1. Abu Bakar mengakui dirinya, bahwah bukanlah orang yang terbaik.
2. Beliau meminta dukungan dan bantuan selama dirinya berbuat baik dan harus diluruskan bila dirinya berbuat tidak baik (in asa'tu).
3. Beliau akan memberikan hak setiap orang tanpa membedakan yang kuat dengan yang lemah.
4. Ketaatan beliau tergantung pada ketaatannya kepada Allah.
Dalam sejarah disebutkan bahwa setelah Abu Bakar selesai dibai’at di saqifah, jenazah Rasulullah masih terbujur kaku dirumahnya Aisyah. Di sekeliling beliau ada keluarga seperti Ali bin Abu Thalib, Abbas Ibn Mutalib dan beberapa orang yang mengurus jenazah, kemudian dimakamkanlah Jenazah rasulullah yang dipimpin oleh Abu Bakar as-Shidiq.
Fenomena menarik dari proses pembai’atan Abu Bakar, bahwa isu menjaga persatuan dan menghindarkan perpecahan di kalangan umat islam saat itu menjadi argumentasi Abu Bakar untuk meyakinkan kekhalifahannya. Hal itu ditandai dengan munculnya orang-orang murtad, keengganan sejumlah suku membayar zakat dan pajak.
Prestasi Kekhalifahan Abu Bakar Selama Kepemimpinan
Masa pemerintahan Abu Bakar merupakan masa kritis perjalanan syiar Islam karena dihadapkan sejumlah masalah seperti ridat atau kemurtadan dan ketidak setiaan. Beberapa anggota suku muslim menolak untuk membayar zakat kepada khalifah untuk Baitul Mal (perbendaharaan publik). Kemudian masalah berikutnya adalah munculnya beberapa kafir yang menyatakan dirinya sebagai Nabi, serta sejumlah pemberontak-pemberontak kecil lainnya.
Semasa hidupnya, Rasulullah saw pernah mengirimkan satu ekspedisi ke Syria di bawah pimpinan Usman bin Zaid, putera dari Zaid bin Harits ra yang gugur pada perang Mut’ah di tahun 8 Hijriah. Pengiriman ekspedisi ini sempat diusulkan para sahabat untuk ditarik kembali ke Madinah guna membantu mengatasi masalah dalam negeri seperti memerangi orang-orang murtad, orang-orang yang enggan membayar zakat dan memadamkan pemberontak-pemberonta lainnya.
Namun usulan ini ditolak dengan tegas oleh Abu Bakar karena pengiriman ekspedisi ini merupakan amanah dari Rasulullah saw. Sikap tegas yang ditunjukkan oleh Abu Bakar kelak membuahkan hikmah tersendiri bagi usaha penyelesaian konflik sosial di dalam negeri.
Selama 40 hari berperang melawan orang-orang Romawi di Syria, akhirnya ekspedisi Usamah meraih kemenangan. Keberhasilan ini menimbulkan opini positif bahwa islam tetap jaya, tidak akan hilang seiring dengan wafatnya Rasulullah saw. Akhirnya satu persatu suku-suku yang semula meninggalkan islam kembali memeluk islam dan loyal terhadap kekhalifahan Abu Bakar al-Shiddiq.
Kini persoalan dalam negeri yang terakhir dan perlu segera dipadamkan adalah pemberontakan yang digerakkan oleh Nabi-Nabi palsu seperti Aswad ‘Ansi dari Yaman, Tsulaiha dari suku bani Asad di Arab Utara, Sajah binti al-Harits di Suwaid,dan Musailamah al-Kadzdzab, anggota suku Arab Tengah.
Abu Bakar mengirim Khalid bin Walid ra, untuk manumpas pemberontakan-pemberontakan tersebut dan berhasil memadamkannya. Demikian juga terhadap gerakan kemurtadan dan suku-suku yang enggan membayar zakat dapat diselesaikan dengan baik oleh Abu Bakar melalui perantaraan panglima perangnya, Khalid bin Walid ra.
Setelah permasalahan besar dalam negeri dapat diatasi dengan baik, Abu Bakar memfokuskan pada kebijakan luar negeri yakni menyelamatnya suku-suku Arab dari penganiayaan pemerintahan Persia. Untuk misi ini, Abu bakar kembali mengirimkan Khalid bin Walid ra dengan pasukannya ke Iraq dan akhirnya bertempur dengan tentara Persia di Hafir, pada tahun 12 H (633 M).[22]
Pada 15 Dzulqa’idah 12 H, Khalid bin Walid ra, mengalahkan musuhnya secara total dan menduduki seluruh Iraq Selatan. Ekspedisi berikutnya adalah ke Syria membantu perjuangan Usamah bin Zaid untuk mengamankan daerah perbatasan dari serangan orang-orang Romawi. Karena perbatasan merupakan jalur-jalur perdagangan bangsa Arab.
Sekitar bulan Rabi’uts-Tsani 13 H yang bertepatan dengan 31 Juli 634 M. Akhirnya kekaisaran Romawi dapat ditumbangkan melalui perang Ajnadin. Padahal dari sekian banyak pertempuran-pertempuran pasukan muslim jauh lebih kecil dari pasukan lawan. Keberhasilan pasukan muslim mengalahkan pasukan lawan tidak terlepas dari spiritual yang tinggi kaum muslimin seperti tersirat dalam opsi yang disampaikan Khalid bin Walid ra maupun utusan-utusan muslim lainnya kepada Kaisar Persia dan Panglima Perang Romawi.
Apa yang dilukiskan Khalid bin Walid ra tentang kondisi mental spritual pasukan muslim memang tepat, karena mati syahid adalah dambaan setiap muslim dengan ganjaran surga dan kekal di dalamnya, apalagi kaum muslimin saat itu yang berada dalam barisan pasukan muslim memiliki kualitas keimanan yang tinggi dengan kesadaran akhirat yang tak tertandingi, sehingga kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan melainkan sesuatu yang didambakan karena yakin akan adanya hari perhitungan atas segala amal yang diperbuat dan kehidupan akhirat setelah kehidupan di dunia ini.
Di saat kemenangan demi kemenangan diraih pasukan muslim di Ajnadin. Abu Bakar dikabarkan jatuh sakit tepatnya pada tanggal 7 Jumadil Akhir, 13 H, dan akhirnya meninggal dunia setelah menderita sakit selama dua minggu. Beliau meninggal dunia pada usia 61 tahun pada hari Selasa, 22 Jumadil akhir, 13 H (23 Agustus 634 M).[24]
Meskipun Abu Bakar menjabat khalifah relatif singkat yakni dua tahun tiga bulan, beliau berhasil membina dan mempertahankan eksistensi persatuan dan kesatuan umat islam yang berdomisili di berbagai suku dan bangsa. Implikasi sejarah semacam ini tentu tidak teranalisis pada masa kekhalifahan Abu Bakar, karena beliau berperang bukan dengan tujuan kekuasaan melainkan semata-mata menegakkan syariat islam dan menciptakan kedamaian di mana pun umat islam berada, pekerjaan besar semacam ini tentu menguras energi tenaga dan pikiran yang sangat besar. Usia Abu Bakar yang mencapai 60 tahun ketika dilantik menjadi khalifah, dan kerja keras yang dilakukannya beresiko bagi kesehatan fisiknya, Abu Bakar pun jatuh sakit dan meninggal dunia.
Prestasi lainnya adalah upaya pengumpulan al-Qur’an. Dari dialog Umar bin Khattab dengan Abu Bakar bahwa begitu banyak para hafijuhu Qur’an yang syahid di medan pertempuran sehingga dikhawatirkan oleh Umar dapat merusak kelestarian al-Qur’an itu sendiri di masa yang akan datang.
Melalui kesaksian sejumlah sahabat yang pernah mendapat pengajaran al-Qur’an dari Rasulullah saw, dikumpulkan dan disalin kembali oleh Zaid bin Tsabit ra atas instruksi khalifah Abu Bakar Akhirnya al-Qur’an terhimpun dalam bentuk mushaf yang dikenal dengan nama Mushaf al-Imam (Mushaf Usmani).
Dari sekian prestasi yang terukir pada masa kekhalifahan Abu Bakar maka jasa terbesar Abu Bakar yang dapat dinikmati oleh peradaban manusia sekarang adalah usaha pengumpulan al-Qur’an yang kelak melahirkan mushaf Usmani dan selanjutnya menjadi acuan dasar dalam penyalinan ayat-ayat suci al-Qur’an hingga menjadi kitab al-Qur’an yang menjadi pedoman utama kehidupan umat Islam bahkan bagi seluruh umat yang ada di permukaan bumi ini.
Baca Juga :
Berawal dari ibunya setiap melahirkan anak laki-laki pasti meninggal dunia.
Setelah Abu Bakar lahir, orang tuanya sangat gembira, lalu dijuluki anak laki-laki mereka dengan sebutan Abdul Ka’bah. Ketika anak itu tumbuh menjadi remaja, diberikan dengan julukan Atit menandakan seolah-olah ia lepas dari kematian. Tatkala usianya menginjak dewasa dia berdagang sebagai penjual kain dan berhasil dalam dagangannya. Pada awal masa mudanya ia menikah dengan Kutailah binti Abdul Uza, perkawinan beliau membuahkan keturunan yang diberi nama Abdullah dan Asma.
Abdullah yang Akrab dipanggil dengan Abu Bakar.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa gelar tersebut melekat sebagai nama penggilan karena beliau termasuk orang yang mula-mula memeluk islam. Sedangkan gelar ash-Shiddiq merupakan julukan yang diberikan kepadanya karena ia termasuk orang pertama membenarkan peristiwa Isra Mi’raj Nabi pada saat sejumlah masyarakat Arab tidak mempercayainya karena mengukur peristiwa tersebut dengan logika murni.
Sebelum memeluk islam, ia merupakan seorang saudagar kaya raya yang mempunyai pengaruh yang cukup besar dikalangan bangsa Arab. Namun setelah ia memeluk islam, perhatiannya sepenuhnya dicurahkan kepada islam sehingga aktivitas perdagangan yang di lakukannya hanya sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari. Beliau juga dikenal sebagai orang yang jujur dan dermawan serta senang beramal untuk kepentingan perjuangan islam. Bukti kedermawanan tersebut sebagaimana dilukiskan dalam sejarah bahwa ketika Rasulullah saw, mempersiapkan pasukan menuju Tabuk, Abu Bakar menyumbangkan semua harta yang dimilikinya dan tidak ada lagi yang tersisa.
Ketika terjadi peristiwa hijrah, Abu Bakar merupakan sahabat yang setia mengawal perjalanan Nabi hingga tiba di Madinah. Penderitaan yang dialaminya dalam peristiwa tersebut mengancaman maut yang mengintainya setiap saat, dan tidak pernah menyurutkan semangat kesetiaannya terhadap Nabi saw.
Proses Pembentukan Khalifah Abu Bakar ash-Shidiq
Berpulangnya Rasulullah saw, ke haribaan Allah swt tanggal 12 Rabiul awal tahun 11 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 3 Juni tahun 632 Masehi. Menjelang wafat beliau menyempatkan diri untuk melaksanakan shalat berjamaah di masjid dan bertemu dengan kaum muslimin. Kemudian beliau memangggil Usmah bin Zaid untuk didoakan sebelum ditugaskan memimpin pasukan kaum muslimin yang akan berperang melawan Imperial Romawi di Syam.
Beberapa saat kemudian setelah Rasulullah kembali dari masjid, tersiar berita bahwa Rasulullah saw telah wafat, kaum muslimin mengalami kebimbangan. Umar bin Khatab berpidato di hadapan segenap kaum muslimin dengan menyangkal bahwa Rasulullah belum wafat. Melainkan hanya pergi beberapa saat kepada Tuhannya kemudian akan kembali lagi. Karena itu ia mengancam kepada orang-orang yang menyebarkan informasi bahwa rasulullah saw telah wafat, akan diberi sangsi dengan hukuman potong tangan dan kaki.
Abu Bakar ash-Shidiq setelah kembali kerumahnya ia mendengar kabar bahwa Rasulullah saw wafat, maka Abu Bakar kembali bergegas ke arah masjid dan membuktikan kebenaran berita itu. Sedangkan Umar bin Khatab masih lantang berpidato membantah berita itu, ia tidak berhenti di masjid melainkan langsung ke rumah Aisyah. Tubuh Rasulullah dilihatnya sudah terbujur kaku, disalah satu ruangan samping rumah Aisyah yang sudah ditutup, dibukanya pelan-pelan sambil mencium wajah orang yang sangat dicintainya itu. Abu Bakar lalu berkata: “Alangkah indahnya hidupmu dan alangkah indahnya pula kematianmu”. Lalu Abu Bakar keluar dari rumah Aisyah menuju masjid dan berseru kepada kaum muslimin yang masih diliputi kebimbangan.
“Wahai sekalian manusia barang siapa menyembah kepada Muhammad, maka Muhammmad telah meninggal dunia dan barang siapa yang menyembah Allah, maka
ia tidak akan pernah mati selamanya” lalu Abu Bakar membaca firman Allah swt QS al-Imran (3): 144 sebagai berikut:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ (١٤٤)
Terjemahannya:
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.[9]
Mendengar ayat tersebut Umar ibn Khatab tidak berdaya. Ia terduduk lemas seolah-olah tubuhnya tidak bertulang lagi dengan ayat yang dibacakan oleh Abu Bakar bahwa ternyata Rasulullah benar-benar telah wafat.
Ayat itu merupakan bentuk penyadaran yang dilakukan Abu Bakar untuk menghilangkan keragu-raguan atas wafatnya Rasulullah saw. Abu Bakar mempunyai kebesaran jiwa tidak seperti yang dilakukan oleh Umar bin Khatab dan orang-orang islam lainnya, ia adalah manusia pilihan Rasululullah. Nampaknya Abu Bakar sangat memahami kondisi spritual kaum muslimin saat itu terutama para sahabat.
Dibalik wafatnya Rasulullah ternyata kaum anshar sedang gencar-gencarnya membicarakan pengganti Rasulullah, sementara jasad beliau belum dimakamkan. Mereka beranggapan bahwa yang layak menjadi pengganti Rasulullah adalah dari kalangan anshar karena jumlah mereka yang paling banyak, kaum anshar akan membai’at Sa’ad ibn Ubadah sebagai pengganti Rasulullah. Tetapi diantara mereka ada yang membayangkan bagaimana kalau seandainya kaum muhajirin tidak menyepakati, maka mereka akan menjawab, bukankah kaum ansar pelindung Muhammad, kalau kemudian kaum muhajirin mengatakan “mengapa kalian menuntut urusan ini setelah Rasulullah wafat”.
Mendengar jawaban itu Sa’ad ibn Ubadah sangat kaget, ingatannya menerawang ke belakang, hal ini masih diliputi suasana pertikaian dalam membicarakan pembai’atan Sa’ad, lantas dia mengatakan bukankah ini sebagai tanda kelemahan kata Sa’ad yang ditujukan kepada kaum Aus yang dinilai masih mempunyai kelemahan, ungkapan ini menurut Sa’ad bukan dari kaum Khazraj. Bukankah orang-orang Aus akan merasa iri jika dicalonkan oleh suku Khazraj sebagai penganti kedudukan Rasulullah.
Bersamaan dengan pembicaraan golongan anshar mengenai rencana kekuasaan atas seluruh kaum muslimin di Saqifah bani Sa’id, Umar Bin Khatab, Abu Ubaidah Ibn Jarrah dan beberapa tokoh sahabat lainnya sedang berbincang-bincang di masjid. Di tempat lain seperti Abu Bakar, Ali ibn Thalib serta beberapa ahlul bait sedang mengelilingi jenazah Rasulullah sambil mempersiapakan pemakaman beliau.
Umar Bin Khatab tidak pernah mengira sebelumnya, jika kaum anshar mendahului untuk membicarakan mengenai kepemimpinan kaum muslimin setelah Rasulullah wafat. Padahal beliau sedang berpikir tentang hal itu setelah merasa yakin bahwa Rasulullah wafat. Dalam buku “ath-Thalabat”, Ibnu Sa’ad menguraikan bahwa Umar bin Khatab pergi menemui Ubaidah ibn Jarrah yang dijuliki Amirul Ummah itu. Tiba-tibah Umar berkata kepada Abu Ubaidah “ Bukalah tanganmu, akan aku bai’at engkau, sebab engkau adalah Amirul Mu’minin” dari semua ucapan Rasulullah.” Dengan wajah penuh keheranan, Abu Ubaidah menjawab. Aku tidak pernah menyaksikan engkau sebodoh sekarang ini, selama aku menjadi orang islam wahai Umar. Apakah engkau membai’atku sedangkan diantara kita terdapat as-Syidiq yang merupakan orang kedua didalam gua bersama Rasulullah.
Di tengah pembicaran mereka, seseorang mendadak memberi tahu bahwa golongan anshar sedang berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah. Mendengar berita itu Umar menyuruh orang itu untuk memanggil Abu Bakar di rumah Aisyah, tetapi Abu Bakar menjawab melalui pesuruh itu: “katakan kepada Umar bahwasanya aku sibuk. Umar mengulangi perintah itu lagi, katakan kepadanya ada suatu kejadian penting yang mengharuskan Abu Bakar segera datang menemui kami.” Abu Bakar datang menjumpai Umar dengan wajah penuh keheranan ,” apakah ada urusan lain yang lebih utama dari pada mengurusi jenazah Rasulullah”?. Tanya Abu Bakar. “Apakah engkau tidak mengetahui bahwa golongan anshar sedang mengadakan pertemuan di Saqifah Bani Sa’ad untuk mengangkat Sa’ad ibn ubadah sebagai pemimpin Umat.?Kata Umar.
Setelah mendengar perkataan Umar, Abu Bakar langsung bergegas pergi ke Saqifah Bani Sa’ad bersama Umar dan Abu Ubaidah untuk menyelesaikan persoalan ini, dengan terlebih dahulu menyerahkan persiapan pemakaman Rasulullah kepada keluarga Ahlul bai’at. Karena ia memiliki kewajiban untuk menyelesaikan persoalan itu. Setelah sampai di Saqifah Abu Bakar, Umar, dan Ubaidah golongan anshar masih terlibat pembicaraan yang serius, belum ada keputusan yang dihasilkan, golongan anshar sangat terkejut melihat tamu yang tidak diundang itu, mereka diam dan diliputi kebingungan. Tiba-tiba Umar memecah keheningan suasana itu dengan menanyakan orang berkerudung yang ada di antara golongan anshar “ siapa dia?” kearah orang yang berkerudung. “Sa’ad bin Ubadah,” jawab orang-orang Anshar sambil menambahkan bahwa ia sedang sakit.
Sungguh menarik prakarsa pembentukan khalifah justru atas inisiatif kaum Anshar yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj merupakan penduduk asli Madinah. Kondisi demikian disebabkan oleh dua faktor, yaitu pertama, kaum Anshar adalah penduduk asli Madinah yang banyak menolong Nabi Saw. Dan kaum muslimin dari Mekkah. Sedangkan faktor kedua adalah sense of crisis (kepekaan terhadap Krisis) yang dimiliki kaum Anshar dalam menyikapi kekosongan kepemimpinan, yaitu hilangnnya kontrol atau kendali atas pengaruh syiar islam pada diri kaum muslimin yang terbesar di berbagai suku di Kota Mekkah, Madinah dan sebagian kecilnya Jazirah arab.
Ketika kaum muhajirin dan anshar berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah terjadi perdebatan tentang calon khalifah. Masing-masing mengajukan argumentasinya tentang siapa yang layak sebagai khalifah.
Selanjutnya Abu Bakar mengajukan dua calon yaitu Abu Ubaidah bin Jahrah dan Umar bin Khattab. Pengajuan dua calon ternyata menimbulkan kegaduhan dan perselisihan karena di antara keduanya terdapat perbedaan kualitas, terutama menyangkut wibawah dan kedudukan.
Proses pembai’atan Abu Bakar sebagai khalifah ternyata tidak sepenuhnya lancar karena ada beberapa orang yang belum memberikan ikrar seperti Ali bin Abi Thalib, Abbas bin Abdul Muthalib, Fadl bin al-Abbas, Zubair bin al-Awwam bin al-As, Khalid bin Sa’id, Miqdad bin Amir, dan sejumlah tokoh-tokoh lainnya. Telah terjadi pertemuan sebagian kecil kaum Anshar dengan Ali bin Abi Thalib di rumah Fatimah, mereka bermaksud membai’at Ali, dengan anggapan Ali lebih patut menjadi khalifah karena Ali berasal dari Bani Hasyim yang berarti “Ahlulbait” Rasulullah saw.
Keengganan Ali bin Abi Thalib serta kemungkinan adanya segelintir kaum Muhajirin dari Bani Hasyim ditepis sebagian ahli sejarah dengan kesaksian Sa’ad bin Zaid tentang tidak adanya orang yang tertinggal dalam proses pembai’atan Abu Bakar sebagai khalifah.
Setelah Abu Bakar terpilih menjadi khalifah, Abu Bakar kemudian menyampaikan pidato yang memuat pernyataan antara lain :
1. Abu Bakar mengakui dirinya, bahwah bukanlah orang yang terbaik.
2. Beliau meminta dukungan dan bantuan selama dirinya berbuat baik dan harus diluruskan bila dirinya berbuat tidak baik (in asa'tu).
3. Beliau akan memberikan hak setiap orang tanpa membedakan yang kuat dengan yang lemah.
4. Ketaatan beliau tergantung pada ketaatannya kepada Allah.
Dalam sejarah disebutkan bahwa setelah Abu Bakar selesai dibai’at di saqifah, jenazah Rasulullah masih terbujur kaku dirumahnya Aisyah. Di sekeliling beliau ada keluarga seperti Ali bin Abu Thalib, Abbas Ibn Mutalib dan beberapa orang yang mengurus jenazah, kemudian dimakamkanlah Jenazah rasulullah yang dipimpin oleh Abu Bakar as-Shidiq.
Fenomena menarik dari proses pembai’atan Abu Bakar, bahwa isu menjaga persatuan dan menghindarkan perpecahan di kalangan umat islam saat itu menjadi argumentasi Abu Bakar untuk meyakinkan kekhalifahannya. Hal itu ditandai dengan munculnya orang-orang murtad, keengganan sejumlah suku membayar zakat dan pajak.
Prestasi Kekhalifahan Abu Bakar Selama Kepemimpinan
Masa pemerintahan Abu Bakar merupakan masa kritis perjalanan syiar Islam karena dihadapkan sejumlah masalah seperti ridat atau kemurtadan dan ketidak setiaan. Beberapa anggota suku muslim menolak untuk membayar zakat kepada khalifah untuk Baitul Mal (perbendaharaan publik). Kemudian masalah berikutnya adalah munculnya beberapa kafir yang menyatakan dirinya sebagai Nabi, serta sejumlah pemberontak-pemberontak kecil lainnya.
Semasa hidupnya, Rasulullah saw pernah mengirimkan satu ekspedisi ke Syria di bawah pimpinan Usman bin Zaid, putera dari Zaid bin Harits ra yang gugur pada perang Mut’ah di tahun 8 Hijriah. Pengiriman ekspedisi ini sempat diusulkan para sahabat untuk ditarik kembali ke Madinah guna membantu mengatasi masalah dalam negeri seperti memerangi orang-orang murtad, orang-orang yang enggan membayar zakat dan memadamkan pemberontak-pemberonta lainnya.
Namun usulan ini ditolak dengan tegas oleh Abu Bakar karena pengiriman ekspedisi ini merupakan amanah dari Rasulullah saw. Sikap tegas yang ditunjukkan oleh Abu Bakar kelak membuahkan hikmah tersendiri bagi usaha penyelesaian konflik sosial di dalam negeri.
Selama 40 hari berperang melawan orang-orang Romawi di Syria, akhirnya ekspedisi Usamah meraih kemenangan. Keberhasilan ini menimbulkan opini positif bahwa islam tetap jaya, tidak akan hilang seiring dengan wafatnya Rasulullah saw. Akhirnya satu persatu suku-suku yang semula meninggalkan islam kembali memeluk islam dan loyal terhadap kekhalifahan Abu Bakar al-Shiddiq.
Kini persoalan dalam negeri yang terakhir dan perlu segera dipadamkan adalah pemberontakan yang digerakkan oleh Nabi-Nabi palsu seperti Aswad ‘Ansi dari Yaman, Tsulaiha dari suku bani Asad di Arab Utara, Sajah binti al-Harits di Suwaid,dan Musailamah al-Kadzdzab, anggota suku Arab Tengah.
Abu Bakar mengirim Khalid bin Walid ra, untuk manumpas pemberontakan-pemberontakan tersebut dan berhasil memadamkannya. Demikian juga terhadap gerakan kemurtadan dan suku-suku yang enggan membayar zakat dapat diselesaikan dengan baik oleh Abu Bakar melalui perantaraan panglima perangnya, Khalid bin Walid ra.
Setelah permasalahan besar dalam negeri dapat diatasi dengan baik, Abu Bakar memfokuskan pada kebijakan luar negeri yakni menyelamatnya suku-suku Arab dari penganiayaan pemerintahan Persia. Untuk misi ini, Abu bakar kembali mengirimkan Khalid bin Walid ra dengan pasukannya ke Iraq dan akhirnya bertempur dengan tentara Persia di Hafir, pada tahun 12 H (633 M).[22]
Pada 15 Dzulqa’idah 12 H, Khalid bin Walid ra, mengalahkan musuhnya secara total dan menduduki seluruh Iraq Selatan. Ekspedisi berikutnya adalah ke Syria membantu perjuangan Usamah bin Zaid untuk mengamankan daerah perbatasan dari serangan orang-orang Romawi. Karena perbatasan merupakan jalur-jalur perdagangan bangsa Arab.
Sekitar bulan Rabi’uts-Tsani 13 H yang bertepatan dengan 31 Juli 634 M. Akhirnya kekaisaran Romawi dapat ditumbangkan melalui perang Ajnadin. Padahal dari sekian banyak pertempuran-pertempuran pasukan muslim jauh lebih kecil dari pasukan lawan. Keberhasilan pasukan muslim mengalahkan pasukan lawan tidak terlepas dari spiritual yang tinggi kaum muslimin seperti tersirat dalam opsi yang disampaikan Khalid bin Walid ra maupun utusan-utusan muslim lainnya kepada Kaisar Persia dan Panglima Perang Romawi.
Apa yang dilukiskan Khalid bin Walid ra tentang kondisi mental spritual pasukan muslim memang tepat, karena mati syahid adalah dambaan setiap muslim dengan ganjaran surga dan kekal di dalamnya, apalagi kaum muslimin saat itu yang berada dalam barisan pasukan muslim memiliki kualitas keimanan yang tinggi dengan kesadaran akhirat yang tak tertandingi, sehingga kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan melainkan sesuatu yang didambakan karena yakin akan adanya hari perhitungan atas segala amal yang diperbuat dan kehidupan akhirat setelah kehidupan di dunia ini.
Di saat kemenangan demi kemenangan diraih pasukan muslim di Ajnadin. Abu Bakar dikabarkan jatuh sakit tepatnya pada tanggal 7 Jumadil Akhir, 13 H, dan akhirnya meninggal dunia setelah menderita sakit selama dua minggu. Beliau meninggal dunia pada usia 61 tahun pada hari Selasa, 22 Jumadil akhir, 13 H (23 Agustus 634 M).[24]
Meskipun Abu Bakar menjabat khalifah relatif singkat yakni dua tahun tiga bulan, beliau berhasil membina dan mempertahankan eksistensi persatuan dan kesatuan umat islam yang berdomisili di berbagai suku dan bangsa. Implikasi sejarah semacam ini tentu tidak teranalisis pada masa kekhalifahan Abu Bakar, karena beliau berperang bukan dengan tujuan kekuasaan melainkan semata-mata menegakkan syariat islam dan menciptakan kedamaian di mana pun umat islam berada, pekerjaan besar semacam ini tentu menguras energi tenaga dan pikiran yang sangat besar. Usia Abu Bakar yang mencapai 60 tahun ketika dilantik menjadi khalifah, dan kerja keras yang dilakukannya beresiko bagi kesehatan fisiknya, Abu Bakar pun jatuh sakit dan meninggal dunia.
Prestasi lainnya adalah upaya pengumpulan al-Qur’an. Dari dialog Umar bin Khattab dengan Abu Bakar bahwa begitu banyak para hafijuhu Qur’an yang syahid di medan pertempuran sehingga dikhawatirkan oleh Umar dapat merusak kelestarian al-Qur’an itu sendiri di masa yang akan datang.
Melalui kesaksian sejumlah sahabat yang pernah mendapat pengajaran al-Qur’an dari Rasulullah saw, dikumpulkan dan disalin kembali oleh Zaid bin Tsabit ra atas instruksi khalifah Abu Bakar Akhirnya al-Qur’an terhimpun dalam bentuk mushaf yang dikenal dengan nama Mushaf al-Imam (Mushaf Usmani).
Dari sekian prestasi yang terukir pada masa kekhalifahan Abu Bakar maka jasa terbesar Abu Bakar yang dapat dinikmati oleh peradaban manusia sekarang adalah usaha pengumpulan al-Qur’an yang kelak melahirkan mushaf Usmani dan selanjutnya menjadi acuan dasar dalam penyalinan ayat-ayat suci al-Qur’an hingga menjadi kitab al-Qur’an yang menjadi pedoman utama kehidupan umat Islam bahkan bagi seluruh umat yang ada di permukaan bumi ini.
Baca Juga :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar