Link Halaman

Statistik Kunjungan Situs

Sanad dan Matan

 <<< kembali                                                                                                                       selanjutnya>>>
 
Sanad atau isnad secara bahasa artinya sandaran, maksudnya adalah jalan yang bersambung sampai kepada matan, rawi-rawi yang meriwayatkan matan hadits dan menyampaikannya. Sanad dimulai dari rawi yang awal (sebelum pencatat hadits) dan berakhir pada orang sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni Sahabat. Misalnya al-Bukhari meriwayatkan satu hadits, maka al-Bukhari dikatakan mukharrij atau mudawwin (yang mengeluarkan hadits atau yang mencatat hadits), rawi yang sebelum al-Bukhari dikatakan awal sanad sedangkan Shahabat yang meriwayatkan hadits itu dikatakan akhir sanad.

Matan secara bahasa artinya kuat, kokoh, keras, maksudnya adalah isi, ucapan atau lafazh-lafazh hadits yang terletak sesudah rawi dari sanad yang akhir.

Para ulama hadits tidak mau menerima hadits yang datang kepada mereka melainkan jika mempunyai sanad, mereka melakukan demikian sejak tersebarnya dusta atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dipelopori oleh orang-orang Syi’ah.

Seorang Tabi’in yang bernama Muhammad bin Sirin (wafat tahun 110 H) rahimahullah berkata, “Mereka (yakni para ulama hadits) tadinya tidak menanyakan tentang sanad, tetapi tatkala terjadi fitnah, mereka berkata, ‘Sebutkan kepada kami nama rawi-rawimu, bila dilihat yang menyampaikannya Ahlus Sunnah, maka haditsnya diterima, tetapi bila yang menyampaikannya ahlul bid’ah, maka haditsnya ditolak.’”
[1]

Kemudian, semenjak itu para ulama meneliti setiap sanad yang sampai kepada mereka dan bila syarat-syarat hadits shahih dan hasan terpenuhi, maka mereka menerima hadits tersebut sebagai hujjah, dan bila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka mereka menolaknya.

Abdullah bin al-Mubarak (wafat th. 181 H) rahimahullah berkata: “Sanad itu termasuk dari agama, kalau seandainya tidak ada sanad, maka orang akan berkata sekehendaknya apa yang ia inginkan"
[2]

Para ulama hadits telah menetapkan kaidah-kaidah dan pokok-pokok pembahasan bagi tiap-tiap sanad dan matan, apakah hadits tersebut dapat diterima atau tidak. Ilmu yang membahas tentang masalah ini ialah ilmu Mushthalah Hadits.


PEMBAGIAN AS-SUNNAH MENURUT SAMPAINYA KEPADA KITA
As-Sunnah yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita dilihat dari segi sampainya dibagi menjadi dua, yaitu mutawatir dan ahad. Hadits mutawatir ialah berita dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan secara bersamaan oleh orang-orang kepercayaan dengan cara yang mustahil mereka bisa bersepakat untuk berdusta.

Hadits mutawatir mempunyai empat syarat yaitu:

[1]. Rawi-rawinya tsiqat dan mengerti terhadap apa yang dikabarkan dan (menyampaikannya) dengan kalimat pasti.
[2]. Sandaran penyampaian kepada sesuatu yang konkret, seperti penyaksian atau mendengar langsung, seperti:

"sami'tu" = aku mendengar
"sami'na" = kami mendengar
"roaitu" = aku melihat
"roainaa" = kami melihat

[3]. Bilangan (jumlah) mereka banyak, mustahil menurut adat mereka berdusta.
[4]. Bilangan yang banyak ini tetap demikian dari mulai awal sanad, pertengahan sampai akhir sanad, rawi yang meriwayatkannya minimal 10 orang.
[3]

Hadits ahad ialah hadits yang derajatnya tidak sampai ke derajat mutawatir. Hadits-hadits ahad terbagi menjadi tiga macam.

[a]. Hadits masyhur, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan 3 sanad.
[b]. Hadits ‘aziz, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan 2 sanad.
[c]. Hadits gharib, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan 1 sanad.
[4]
 
[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Bab I : As-Sunnah Dan Definisinya, Penulis Yazid Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]


Catatan Kaki:

[1] Muqaddimah Shahih Muslim.

[2] Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi (1/87).

[3] Taisir Musthalaahil Hadiits, Dr. Mahmud Thah-han (hal. 19-20).

[4] Lihat rinciannya dalam kitab Taisir Musthalaahil Hadiits, Dr. Mahmud Thah-han (hal. 22-31).


 <<< kembali                                                                                                                       selanjutnya>>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar