Sebelum dibahas lebih lanjut tentang permasalahan ini, terlebih dahulu perlu dijelaskan tentang sifat maksum para nabi dan rasul.
Seorang ulama Ahlis-Sunnah Wa al-Jama'ah yang terkemuka, al-Hafiz al-Shaykh ^ Abdullah al-Harari al-^ Abdariyy di dalam kitabnya:
[1] وتجب لهم العصمة من الكفر والكبائر وصغائر الخسة قبل النبوة وبعدها
Maksudnya: " dan (pada akal,) wajib bagi mereka (para nabi dan rasul) maksum (dilindungi) dari kekufuran, dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil yang hina dan keji sebelum kenabian dan berikutnya "
Kata-kata al-Shaykh Abdullah al-Abdary tentang kemaksuman para nabi dan rasul ini adalah sesuai dengan konsensus para ulama Ahlis-Sunnah Wa al-Jama'ah seperti yang disebut al-Qadi Iyad dalam kitabnya al-Shifa jilid 2, halaman 143.
Selain itu, dalam kitab yang sama di halaman 109, al-Qadi Iyad mengatakan:
الصواب أنهم معصومون قبل النبوة من الجهل بالله وصفاته والتشكيك في شيء من ذلك
Artinya: " Yang tepat sebenarnya adalah para nabi itu maksum (dilindungi) sebelum menjadi nabi dari sifat jahil dan ragu (walau sedikit sekalipun) tentang Allah dan sifat-sifat-Nya ".
Jadi, pernyataan beberapa kelompok seperti Hizbut-Tahrir yang secara jelas menyebut dalam kitab mereka bahwasanya para nabi tidak maksum sebelum kenabian adalah tidak benar sama sekali.
Lihat kitab mereka al-Shakhsiyyah al-Islamiyyah jilid 1, halaman 120.
Seperti yang telah dijelaskan, mustahil bagi para nabi dan rasul untuk melakukan dosa-dosa kecil yang keji apalagi ingin mendekati kekufuran baik sebelum atau setelah kenabian mereka. Adalah sulit dipercaya untuk seorang penyampai dakwah rabaniah dan pembawa misi ilahiah tidak mengenal Tuhan yang disembah. Justru itu, kisah Nabi Ibrahim yang mencari-cari tuhannya adalah tidak benar seperti yang diceritakan oleh beberapa pihak.
Maka perlu untuk diteliti maksud ayat Al-An umum ayat 75-80 dari tafsir ulama Ahlis-Sunnah wal-Jama'ah bukan hanya sekedar memahami makna zhahirnya. Berkata al-Shaykh Abdullah al-Abdary pada halaman yang sama:
"وقول ابراهيم عن الكوكب حين رءاه: (هذا ربي) هو على تقدير الاستفهام الإنكاري فكأنه قال: أهذا ربي كما تزعمون, ثم لما غاب قال: (لا أحب الافلين). أي لا يصلح أن يكون هذا ربا, فكيف تعتقدون ذلك?
Artinya:
" Dan berkata Ibrahim tentang planet atau bintang ketika melihatnya: (Ini tuhanku) adalah dalam bentuk pertanyaan ingkari (pertanyaan untuk menyanggah dan bukan untuk meminta jawaban) yaitu seolah-olah beliau mengatakan: "Apakah ini tuhanku seperti yang kamu perkirakan?", kemudian ketika bintang tersebut hilang beliau berkata: (Aku tidak suka kepada yang terbenam) yakni yang hilang atau terbenam itu tidak layak menjadi tuhan, lalu bagaimana kalian bisa menyembahnya? "
" Dan berkata Ibrahim tentang planet atau bintang ketika melihatnya: (Ini tuhanku) adalah dalam bentuk pertanyaan ingkari (pertanyaan untuk menyanggah dan bukan untuk meminta jawaban) yaitu seolah-olah beliau mengatakan: "Apakah ini tuhanku seperti yang kamu perkirakan?", kemudian ketika bintang tersebut hilang beliau berkata: (Aku tidak suka kepada yang terbenam) yakni yang hilang atau terbenam itu tidak layak menjadi tuhan, lalu bagaimana kalian bisa menyembahnya? "
Makna kalimat'' Ini Tuhanku'' semestinya diartikan dengan'' Inilah Tuhanku ?''. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Imam Abu Hayyan al-Andalusi dalam tafsirnya al-Nahrul Mad jilid 1, halaman 706:
ولا يريد بذلك الإعتقاد وإنما ذلك مثل أن ترى رجلا ضعيف القوة لا يكاد ينهض فيقول إنسان هذا ناصرتي مثل هذ Â
Maksudnya:
" kata Ibrahim, hadha rabbi (ini Tuhanku) bukanlah pernyataan keyakinan bahwa bintang, bulan dan matahari adalah Tuhannya. Hal ini diibaratkan seperti ketika kamu melihat orang lemah yang tak mampu berdiri, lalu Anda mengatakan hadha nasirati mithlu hadha (seperti ini penolongku ?) ''.
" kata Ibrahim, hadha rabbi (ini Tuhanku) bukanlah pernyataan keyakinan bahwa bintang, bulan dan matahari adalah Tuhannya. Hal ini diibaratkan seperti ketika kamu melihat orang lemah yang tak mampu berdiri, lalu Anda mengatakan hadha nasirati mithlu hadha (seperti ini penolongku ?) ''.
Selain itu, kisah Nabi Ibrahim yang mencari-cari Tuhannya telah ditumbangkan oleh al-Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya, al-Jami li Ahkam al-Qur'an. Ketika menafsirkan ayat tersebut, ia menyebut bahwa ada beberapa pendapat tentang firman Allah {قال هذا ربي}. antaranya adalah pendapat yang mengatakan Nabi Ibrahim menyembah bintang, matahari dan bulan sampai hilang. Maka pendapat ini ditolak oleh beliau dengan menyebut:
غير جائز أن يكون لله تعالى رسول يأتي عليه وقت من الأوقات إلا وهو لله تعالى موحد وبه عارف, ومن كل معبود سواه بريء. قالوا: وكيف يصح أن يتوهم هذا على من عصمه الله وآتاه رشده من قبل, وأراه ملكوته ليكون من الموقنين, ولا يجوز أن يوصف بالخلو عن المعرفة, بل عرف الرب أول النظر
Maksudnya:
" Tidak harus untuk Allah mendatangkan seorang rasul yang tidak mentauhidkan dan mengenali-Nya, dan setiap manusia semuanya tidak berdosa (ketika lahir). Berkata: dan bagaimana ada orang yang mengira hal tersebut (kisah nabi menemukan tuhannya) atas manusia yang dipelihara oleh Allah dan diberikan petunjuk sebelum kerasulannya, dia melihat kekuasaan-Nya untuk menjadi yakin dan tidak bisa menganggap dia tidak mengenal Allah bahkan dia terlebih dahulu mengenal tuhannya".
" Tidak harus untuk Allah mendatangkan seorang rasul yang tidak mentauhidkan dan mengenali-Nya, dan setiap manusia semuanya tidak berdosa (ketika lahir). Berkata: dan bagaimana ada orang yang mengira hal tersebut (kisah nabi menemukan tuhannya) atas manusia yang dipelihara oleh Allah dan diberikan petunjuk sebelum kerasulannya, dia melihat kekuasaan-Nya untuk menjadi yakin dan tidak bisa menganggap dia tidak mengenal Allah bahkan dia terlebih dahulu mengenal tuhannya".
Antara ulama tafsir lain yang sependapat dengan al-Imam al-Qurthubi adalah al-Imam Fakhrud-ddin al-Razi dalam tafsirnya, Mafatihul Ghaib ( al-Tafsir al-Kabir ), al-Imam al-Baydawi dan banyak lagi.
Sebenarnya ayat dari surat Al-An `am ayat 76-78 adalah dalam konteks Ibrahim mendebat dan berdebat dengan kaumnya, yakni kaum Harran yang cenderung terhadap ilmu astronomi, bahkan mereka sampai menyembahnya (bintang, bulan, dan matahari).
Oleh sebab itu, Allah mengutus Nabi Ibrahim kepada mereka dengan membawa hujjah qawiyyah (argumen yang kuat).Maka Nabi Ibrahim mempertanyakan apakah layak sesuatu yang terbit lalu tenggelam, sesuatu yang berubah, dan tidak dapat memberikan manfaat dan mudarat untuk dijadikan Tuhan?
Oleh karena itu, Ibrahim berkata kepada kaumnya {لا أحب ٱلأفلين} (aku tidak suka sesuatu yang tenggelam).
Dalam kitab Tafsir al-Jalalayn karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuti dijelaskan: '' Aku tidak suka sesuatu yang tenggelam untuk dijadikan Tuhan karena Tuhan itu tidak patut memiliki sifat yang berubah-rubah, bertempat, dan berpindah-pindah karena sifat- sifat itu hanya layak dimiliki oleh makhluk ' '.
Ada dalil lain dari al-Quran al-Karim yang menunjukkan bahwasanya Nabi Ibrahim tidak pernah menemukan atau jahil tentang Tuhannya seperti yang telah difirmankan oleh Allah taala: Artinya: " Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan ". [Surah al-An ^ umum, ayat 78]
Begitu juga pada ayat yang berikutnya: Artinya: " Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan ". [Surah al-An ^ umum, ayat 79]
Allah Ta'ala berfirman: Artinya: " Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang hanif / lurus lagi Muslim (seorang yang tidak pernah mempersekutukan Allah dan jauh dari kesesatan) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang musyrik (tidak pernah musyrik sama sekali baik sebelum menjadi nabi maupun sesudahnya) "[Surah Ali-` Imran, ayat 67]
Dan firman Allah Ta'ala lagi: Maksudnya: "Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun) dan adalah Kami mengetahui (keadaan) nya ". [Surah al-Anbiya ', ayat 51]
Ayat dari surat al-Anbiya 'ayat 51 ini menjelaskan bahwa sebelum Nabi Ibrahim menjalankan misi dakwahnya, dia memperoleh iman yang kuat dan pengetahuan bahwa hanya Allah saja Tuhannya yang layak disembah, bukan bulan, bintang , ataupun matahari. Hal ini sesuai dengan kata-kata al-Imam al-Qurthubi ketika menafsirkan ayat tersebut:
"قوله تعالى: {ولقد آتينآ إبراهيم رشده} قال الفراء: أي أعطيناه هداه {من قبل} أي من قبل النبوة, أي وفقناه للنظر والاستدلال لما جن عليه الليل فرأى النجم والشمس والقمر".
Artinya:
" Allah berfirman: {ولقدنا اتينا ابراهيم رشده}, al-Farra ': "Yaitu Allah anugerahkannya hidayah.{من قبل} yaitu sebelum kenabian lagi, yaitu kami berikan petunjuk kepadanya untuk melihat bukti-bukti saat datangnya malam maka dia melihat bintang, matahari dan bulan ".
" Allah berfirman: {ولقدنا اتينا ابراهيم رشده}, al-Farra ': "Yaitu Allah anugerahkannya hidayah.{من قبل} yaitu sebelum kenabian lagi, yaitu kami berikan petunjuk kepadanya untuk melihat bukti-bukti saat datangnya malam maka dia melihat bintang, matahari dan bulan ".
Singkatnya, Nabi Ibrahim yang merupakan seorang nabi dan rasul telah mengenal dan beriman kepada Allah ta`ala dari hari sebelum menjadi nabi sebagaimana para nabi lainnya.
Ketahuilah tidak pernah ada keraguan sedikit pun baginya tentang keberadaan Allah yang tidak sama dengan makhluk dan ketuhanan hanya layak disandang oleh Allah. Sebagian orang yang tidak amanah dengan ilmu membuat tanggapan bahwa Ibrahim suatu ketika pernah keliru dan ragu-ragu, lalu mencari siapa Tuhannya. Tanggapan ini adalah tidak benar sama sekali bahkan ia merupakan satu bentuk pendustaan terhadap Al-Quran. Wal-iyadhubiLlah ...
Ketahuilah bahwa semua para nabi dan rasul MUSTAHIL untuk menyesatkan kekufuran, syirik, dosa besar, dan dosa kecil yang keji, baik sebelum maupun sesudah menjadi nabi. Merekalah yang telah diutus sebagai Hudatan Muhtadin (orang yang mencerahkan dan tercerahkan) dengan menyampaikan risalah kebenaran kepada seluruh alam semesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar