Yang Perlu Anda Ketahui Dari Hadits-1
Mukaddimah
Dalam kajian ini kami ketengahkan beberapa hal yang berkenaan dengan ilmu hadits, yang kirannya perlu kita ketahui untuk menambah wawasan dan kami kemas dalam bentuk tanya jawab sehingga lebih mudah untuk dipahami.
(1)-
TANYA:
Kenapa kita harus menuntut ilmu Hadits?
JAWAB:
1. Karena ia merupakan ilmu yang paling mulia
2. Karena para penuntutnya adalah orang-orang yang menjadi lentera kegelapan. Kalau kita melihat keempat imam madzhab, tiga orang dari mereka (selain Abu Hanifah) dikenal sebagai ahli hadits.
Imam Malik memiliki kitab al-Muwaththa` yang berisi banyak hadits. Imam asy-Syafi’i memiliki kitab al-Umm yang banyak berisi hadits-hadits yang beliau ketengahkan sendiri dengan sanadnya, demikian juga dengan bukunya yang terkenal ar-Risalah. Bahkan salah seorang muridnya mengarang Musnad Imam asy-Syafi’i yang diringkasnya dari hadits-hadits yang diriwayatkan beliau di dalam kitab-kitabnya sehingga kitab tersebut lebih dikenal dengan nama Musnad asy-Syafi’i, begitu pula kitab as-Sunnan.
Sedangkan Imam Ahmad memang dikenal sebagai tokoh utama Ahli hadits dan justeru tidak diketahui kalau beliau ada mengarang buku dalam masalah fiqih. Hanya saja perlu diketahui, bahwa beliau juga terhitung sebagai Ahli fiqih. Beliau melarang para muridnya menulis sesuatu dengan hanya berpedoman pada akal semata dan menganjurkan mereka menulis hadits.
(SUMBER: Fataawa Hadiitsiyyah karya Syaikh Dr. Sa’d bin ‘Abdullah al-Humaid, hal.5)
(2)-
TANYA:
Apa perbedaan antara ungkapan “Haddatsana” ([Fulan] telah menceritakan kepada kami) dan “Akhbarana” ([Fulan] telah memberitahukan kepada kami)?
JAWAB:
Di dalam tata cara Talaqqi (mentransfer, menerima) hadits, para ulama hadits membedakan antara lafazh yang ditransfer langsung dari Syaikh (Guru) dan yang dibacakan kepada syaikh. Bila Syaikh menceritakan tentang hadits, baik dari hafalannya atau pun dari kitab (tulisan)-nya dan membacakan kepada para murid sementara mereka menyalin hadits-hadits yang dibicarakan Syaikh tersebut; maka ini dinamakan dengan as-Samaa’ yang sering diungkapkan dengan kalimat “Yuhadditsuni” atau “Haddatsani.” Bila seorang penuntut ilmu mentransfer hadits tersebut di majlis seperti ini, maka ia harus menggunakan bentuk plural (jamak), yaitu “Haddatsanaa” karena berarti ia mentrasfer hadits itu bersama peserta yang lainnya. Dan jika ia mentransfernya secara pribadi (sendirian) dari Syaikh langsung, maka ia mengungkapkannya dengan “Hadtsani” yakni secara sendirian.
Adapun bila hadits tersebut dibacakan kepada Syaikh (dengan metode Qiraa`ah), seperti misalnya, Imam Malik menyerahkan kitabnya “al-Muwaththa`” kepada salah seorang muridnya, lalu ia (si murid) membaca dan beliau mendengar; jika si murid ini salah, maka ia menjawab dan meluruskan kesalahannya, bila tidak ada yang salah, ia terus mendengar. Metode ini dinamai oleh para ulama hadits dengan metode “al-‘Ardh” (pemaparan) dan “Qiraa`ah ‘Ala asy-Syaikh” (membaca kepada Syaikh). Mereka (para ulama hadits) mengungkap dengan lafazh seperti ini secara lebih detail manakala seseorang ingin menceritakan (meriwayatkan) hadits, maka ia harus mengungkapkan dengan “Akhbarani” bukan dengan “Haddatsani” . Maksudnya bahwa ia menerima (Mentransfer) hadits tersebut bukan dari lafazh Syaikh secara langsung tetapi melalui murid yang membacakannya kepada Syaikh tersebut.
Inilah sebabnya kenapa mereka membedakan antara penggunaan lafazh “Haddatsana” dan lafazh “Akhbarana.” Sebagian Ahli Hadits mengatakan bahwa keduanya sama saja, baik dibacakan kepada Syaikh atau Syaikh sendiri yang membacakannya, semua itu sama saja. Akan tetapi Imam Muslim Rahimahullah tidak menilai hal itu sama saja. Beliau membedakan antara keduanya. Karena itu, dalam banyak haditsnya, kita menemukan beliau memuat hal tersebut. Beliau selalu mengatakan, “Haddatsana….Wa Qaala Fulan, ‘Akhbarana” ([Si fulan menceritakan begini….Dan si Fulan [periwayat lain] mengatakan, ‘telah memberitahu kami’ [Akhbarana] , demikian seterusnya.
(SUMBER: Fataawa Hadiitsiyyah karya Syaikh Dr. Sa’d bin ‘Abdullah al-Humaid, hal.61-62)
Dalam kajian ini kami ketengahkan beberapa hal yang berkenaan dengan ilmu hadits, yang kirannya perlu kita ketahui untuk menambah wawasan dan kami kemas dalam bentuk tanya jawab sehingga lebih mudah untuk dipahami.
(1)-
TANYA:
Kenapa kita harus menuntut ilmu Hadits?
JAWAB:
1. Karena ia merupakan ilmu yang paling mulia
2. Karena para penuntutnya adalah orang-orang yang menjadi lentera kegelapan. Kalau kita melihat keempat imam madzhab, tiga orang dari mereka (selain Abu Hanifah) dikenal sebagai ahli hadits.
Imam Malik memiliki kitab al-Muwaththa` yang berisi banyak hadits. Imam asy-Syafi’i memiliki kitab al-Umm yang banyak berisi hadits-hadits yang beliau ketengahkan sendiri dengan sanadnya, demikian juga dengan bukunya yang terkenal ar-Risalah. Bahkan salah seorang muridnya mengarang Musnad Imam asy-Syafi’i yang diringkasnya dari hadits-hadits yang diriwayatkan beliau di dalam kitab-kitabnya sehingga kitab tersebut lebih dikenal dengan nama Musnad asy-Syafi’i, begitu pula kitab as-Sunnan.
Sedangkan Imam Ahmad memang dikenal sebagai tokoh utama Ahli hadits dan justeru tidak diketahui kalau beliau ada mengarang buku dalam masalah fiqih. Hanya saja perlu diketahui, bahwa beliau juga terhitung sebagai Ahli fiqih. Beliau melarang para muridnya menulis sesuatu dengan hanya berpedoman pada akal semata dan menganjurkan mereka menulis hadits.
(SUMBER: Fataawa Hadiitsiyyah karya Syaikh Dr. Sa’d bin ‘Abdullah al-Humaid, hal.5)
(2)-
TANYA:
Apa perbedaan antara ungkapan “Haddatsana” ([Fulan] telah menceritakan kepada kami) dan “Akhbarana” ([Fulan] telah memberitahukan kepada kami)?
JAWAB:
Di dalam tata cara Talaqqi (mentransfer, menerima) hadits, para ulama hadits membedakan antara lafazh yang ditransfer langsung dari Syaikh (Guru) dan yang dibacakan kepada syaikh. Bila Syaikh menceritakan tentang hadits, baik dari hafalannya atau pun dari kitab (tulisan)-nya dan membacakan kepada para murid sementara mereka menyalin hadits-hadits yang dibicarakan Syaikh tersebut; maka ini dinamakan dengan as-Samaa’ yang sering diungkapkan dengan kalimat “Yuhadditsuni” atau “Haddatsani.” Bila seorang penuntut ilmu mentransfer hadits tersebut di majlis seperti ini, maka ia harus menggunakan bentuk plural (jamak), yaitu “Haddatsanaa” karena berarti ia mentrasfer hadits itu bersama peserta yang lainnya. Dan jika ia mentransfernya secara pribadi (sendirian) dari Syaikh langsung, maka ia mengungkapkannya dengan “Hadtsani” yakni secara sendirian.
Adapun bila hadits tersebut dibacakan kepada Syaikh (dengan metode Qiraa`ah), seperti misalnya, Imam Malik menyerahkan kitabnya “al-Muwaththa`” kepada salah seorang muridnya, lalu ia (si murid) membaca dan beliau mendengar; jika si murid ini salah, maka ia menjawab dan meluruskan kesalahannya, bila tidak ada yang salah, ia terus mendengar. Metode ini dinamai oleh para ulama hadits dengan metode “al-‘Ardh” (pemaparan) dan “Qiraa`ah ‘Ala asy-Syaikh” (membaca kepada Syaikh). Mereka (para ulama hadits) mengungkap dengan lafazh seperti ini secara lebih detail manakala seseorang ingin menceritakan (meriwayatkan) hadits, maka ia harus mengungkapkan dengan “Akhbarani” bukan dengan “Haddatsani” . Maksudnya bahwa ia menerima (Mentransfer) hadits tersebut bukan dari lafazh Syaikh secara langsung tetapi melalui murid yang membacakannya kepada Syaikh tersebut.
Inilah sebabnya kenapa mereka membedakan antara penggunaan lafazh “Haddatsana” dan lafazh “Akhbarana.” Sebagian Ahli Hadits mengatakan bahwa keduanya sama saja, baik dibacakan kepada Syaikh atau Syaikh sendiri yang membacakannya, semua itu sama saja. Akan tetapi Imam Muslim Rahimahullah tidak menilai hal itu sama saja. Beliau membedakan antara keduanya. Karena itu, dalam banyak haditsnya, kita menemukan beliau memuat hal tersebut. Beliau selalu mengatakan, “Haddatsana….Wa Qaala Fulan, ‘Akhbarana” ([Si fulan menceritakan begini….Dan si Fulan [periwayat lain] mengatakan, ‘telah memberitahu kami’ [Akhbarana] , demikian seterusnya.
(SUMBER: Fataawa Hadiitsiyyah karya Syaikh Dr. Sa’d bin ‘Abdullah al-Humaid, hal.61-62)
Yang Perlu Anda Ketahui Dari Hadits-2 (Mana Yang Paling Shahih Antara Sunan Abi Daud Dan Sunan an-Nasa`iy)
TANYA:
Dari aspek keshahihan, mana yang diunggulkan; Sunan Abi Daud atau kah Sunan an-Nasa`iy?
JAWAB:
Bila kita melihat kitab Sunan an-Nasa`iy dengan maksud ia adalah as-Sunan al-Kubra, maka Sunan Abi Daud lebih shahih daripadanya. Sedangkan bila yang dimaksud dengan Sunan an-Nasa`iy di sini adalah kitab al-Mujtaba, di sini perlu didiskusikan kembali pendapat tadi.
Bila kita melihat kitab Sunan an-Nasa`iy, maka akan jelas bagi kita bahwa ia (Sunan an-Nasa`iy) yang dinamakan dengan al-Mujtaba sekarang ini –yang nampak bagi saya- bukanlah karangan Imam an-Nasa`iy sendiri. Ia merupakan karangan Ibn as-Sunny yang tidak lain adalah salah seorang periwayat kitab Sunan an-Nasa`iy. Secara umum, yang dimaksud dengan Sunan an-Nasa`iy adalah as-Sunan al-Kubra. Karena itu, sebagian orang dari satu sisi, menilai sisi kebagusan hadits-haditsnya atau membuang hadits-hadits Mawdlu’ (palsu) dan Munkar yang ada pada Sunan an-Nasa`iy yang disebut al-Mujtaba alias as-Sunan ash-Shughra sebagaimana yang dikatakan sebagian orang, karena mengira ia merupakan karangan Imam an-Nasa`iy.
Yang menjadi indikasi untuk semua itu, bahwa kitab al-Mujtaba (artinya, ringkasan, intisari-red.,) dari sisi hadits-haditsnya memang lebih bagus (mengesankan) daripada as-Sunan al-Kubra akan tetapi apakah benar Imam an-Nasa`iy yang meringkas/mengintisarinya dari hadits-hadits tersebut (sehingga dinamai al-Mujtaba-red.,) atau orang selain dia?. Hal ini akan kami jelaskan sebentar lagi, insya Allah.
Yang jelas, bila kita membanding-bandingkan antara al-Mujtaba dan Sunan Abi Daud, maka pembandingan ini –menurut saya- butuh kajian yang serius dan teliti. Sebab, sementara orang ada yang langsung saja menyatakan bahwa Sunan Abi Daud lebih unggul. Sikap seperti ini banyak diambil oleh para ulama terdahulu. Setiap orang yang membicarakan Sunan Abi Daud, pasti ia akan mengunggulkannya atas kitab-kitab lainnya bahkan sebagian mereka ada yang mengunggulkannya atas Shahih Muslim akan tetapi pendapat ini tidak benar. Sebagian orang lagi, khususnya di zaman sekarang ini, kita menemukan ada orang yang berusaha mengunggulkan Sunan an-Nasa`iy atas Sunan Abi Daud.
Menurut saya, bila ijtihad-ijtihad seperti ini keluar dari seseorang yang ingin agar ucapannya tepat, maka hendaknya berpijak pada ucapan yang ilmiah atau metode ilmiah yang komprehensif dengan cara melakukan penelitian terhadap Sunan Abi Dauddan Sunan an-Nasa`iyyang bernama al-Mujtaba itu, kemudian melihat jumlah hadits-hadits yang dimuat di masing-masing kitab tersebut, lalu jumlah hadits yang dikritisi dari masing-masingnya; berapa persentasenya secara keseluruhan untuk masing-masing kitab. Dari situ, akan kita dapatkan persentase hadits-hadits yang dikritisi di dalam kitab Sunan Abi Dauddan juga di dalam kitab Sunan an-Nasa`iy.
Selain itu, hadits-hadits yang dikritisi ini juga bisa diklasifikasi lagi antara yang Dla’if, Dla’if Sekali dan Kemungkinan Dla’if (masih fity-fifty). Masing-masingnya perlu dibubuhkan berapa persentasenya.
Di samping itu, perlu juga dilihat; apakah pengarang kitab menjelaskan dan mengomentari hadits-hadits yang dikritisi tersebut atau kah tidak? Sebab, Abu Daud dan an-Nasa`iy ada mengomentari sebagian hadits. Kemudian, dilihat pula berapa persentase komentar yang dikeluarkan masing-masing pengarang kitab terhadap hadits-hadits yang dikritisi tersebut. Setelah itu, barulah kita dapat mengeluarkan gambaran yang jelas melalui penelitian yang seksama, apakah Sunan Abi Daudyang lebih bagus (mengesankan) atau kah sebaliknya? Inilah pendapat saya mengenai hal ini.
(SUMBER: Fataawa Hadiitsiyyah karya Syaikh Sa’d bin ‘Abdullah Al Humaid, Juz.I, h.106-107)
Dari aspek keshahihan, mana yang diunggulkan; Sunan Abi Daud atau kah Sunan an-Nasa`iy?
JAWAB:
Bila kita melihat kitab Sunan an-Nasa`iy dengan maksud ia adalah as-Sunan al-Kubra, maka Sunan Abi Daud lebih shahih daripadanya. Sedangkan bila yang dimaksud dengan Sunan an-Nasa`iy di sini adalah kitab al-Mujtaba, di sini perlu didiskusikan kembali pendapat tadi.
Bila kita melihat kitab Sunan an-Nasa`iy, maka akan jelas bagi kita bahwa ia (Sunan an-Nasa`iy) yang dinamakan dengan al-Mujtaba sekarang ini –yang nampak bagi saya- bukanlah karangan Imam an-Nasa`iy sendiri. Ia merupakan karangan Ibn as-Sunny yang tidak lain adalah salah seorang periwayat kitab Sunan an-Nasa`iy. Secara umum, yang dimaksud dengan Sunan an-Nasa`iy adalah as-Sunan al-Kubra. Karena itu, sebagian orang dari satu sisi, menilai sisi kebagusan hadits-haditsnya atau membuang hadits-hadits Mawdlu’ (palsu) dan Munkar yang ada pada Sunan an-Nasa`iy yang disebut al-Mujtaba alias as-Sunan ash-Shughra sebagaimana yang dikatakan sebagian orang, karena mengira ia merupakan karangan Imam an-Nasa`iy.
Yang menjadi indikasi untuk semua itu, bahwa kitab al-Mujtaba (artinya, ringkasan, intisari-red.,) dari sisi hadits-haditsnya memang lebih bagus (mengesankan) daripada as-Sunan al-Kubra akan tetapi apakah benar Imam an-Nasa`iy yang meringkas/mengintisarinya dari hadits-hadits tersebut (sehingga dinamai al-Mujtaba-red.,) atau orang selain dia?. Hal ini akan kami jelaskan sebentar lagi, insya Allah.
Yang jelas, bila kita membanding-bandingkan antara al-Mujtaba dan Sunan Abi Daud, maka pembandingan ini –menurut saya- butuh kajian yang serius dan teliti. Sebab, sementara orang ada yang langsung saja menyatakan bahwa Sunan Abi Daud lebih unggul. Sikap seperti ini banyak diambil oleh para ulama terdahulu. Setiap orang yang membicarakan Sunan Abi Daud, pasti ia akan mengunggulkannya atas kitab-kitab lainnya bahkan sebagian mereka ada yang mengunggulkannya atas Shahih Muslim akan tetapi pendapat ini tidak benar. Sebagian orang lagi, khususnya di zaman sekarang ini, kita menemukan ada orang yang berusaha mengunggulkan Sunan an-Nasa`iy atas Sunan Abi Daud.
Menurut saya, bila ijtihad-ijtihad seperti ini keluar dari seseorang yang ingin agar ucapannya tepat, maka hendaknya berpijak pada ucapan yang ilmiah atau metode ilmiah yang komprehensif dengan cara melakukan penelitian terhadap Sunan Abi Dauddan Sunan an-Nasa`iyyang bernama al-Mujtaba itu, kemudian melihat jumlah hadits-hadits yang dimuat di masing-masing kitab tersebut, lalu jumlah hadits yang dikritisi dari masing-masingnya; berapa persentasenya secara keseluruhan untuk masing-masing kitab. Dari situ, akan kita dapatkan persentase hadits-hadits yang dikritisi di dalam kitab Sunan Abi Dauddan juga di dalam kitab Sunan an-Nasa`iy.
Selain itu, hadits-hadits yang dikritisi ini juga bisa diklasifikasi lagi antara yang Dla’if, Dla’if Sekali dan Kemungkinan Dla’if (masih fity-fifty). Masing-masingnya perlu dibubuhkan berapa persentasenya.
Di samping itu, perlu juga dilihat; apakah pengarang kitab menjelaskan dan mengomentari hadits-hadits yang dikritisi tersebut atau kah tidak? Sebab, Abu Daud dan an-Nasa`iy ada mengomentari sebagian hadits. Kemudian, dilihat pula berapa persentase komentar yang dikeluarkan masing-masing pengarang kitab terhadap hadits-hadits yang dikritisi tersebut. Setelah itu, barulah kita dapat mengeluarkan gambaran yang jelas melalui penelitian yang seksama, apakah Sunan Abi Daudyang lebih bagus (mengesankan) atau kah sebaliknya? Inilah pendapat saya mengenai hal ini.
(SUMBER: Fataawa Hadiitsiyyah karya Syaikh Sa’d bin ‘Abdullah Al Humaid, Juz.I, h.106-107)
Yang Perlu Anda Ketahui Dari Hadits-3 (Definisi Sanad Dan Matan)
TANYA:
Apa makna ‘Thariiq’ (Sanad)? Dan apa pula makna matan? Tolong berikan contohnya
JAWAB:
Makna Thariiq (Sanad) adalah mata rantai (jalur) para periwayat yang menghubungkan matan.
Sedangkan Matan adalah ucapan (teks) setelah sanad.
Contohnya, hadits yang dikeluarkan al-Bukhary, Muslim dan Abu Daud (lafaznya diambil dari Abu Daud);
Sulaiman bin Harb menceritakan kepada kami, (ia berkata), Hammad menceritakan kepada kami, (ia berkata), dari Ayyub, dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kamu larang para wanita hamba Allah untuk (memasuki) masjid-masjid Allah.”
(Mata rantai orang-orang yang meriwayatkan mulai dari Sulaiman hingga Ibn ‘Umar dinamakan sanad/thariiq sedangkan ucapan Rasulllah SAW setelah itu dinamakan ‘matan’.-red)
(SUMBER: As’ilah Wa Ajwibah Fi Mushthalah al-Hadiits karya Syaikh Mushthafa al-‘Adawy, hal.7)
Apa makna ‘Thariiq’ (Sanad)? Dan apa pula makna matan? Tolong berikan contohnya
JAWAB:
Makna Thariiq (Sanad) adalah mata rantai (jalur) para periwayat yang menghubungkan matan.
Sedangkan Matan adalah ucapan (teks) setelah sanad.
Contohnya, hadits yang dikeluarkan al-Bukhary, Muslim dan Abu Daud (lafaznya diambil dari Abu Daud);
Sulaiman bin Harb menceritakan kepada kami, (ia berkata), Hammad menceritakan kepada kami, (ia berkata), dari Ayyub, dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kamu larang para wanita hamba Allah untuk (memasuki) masjid-masjid Allah.”
(Mata rantai orang-orang yang meriwayatkan mulai dari Sulaiman hingga Ibn ‘Umar dinamakan sanad/thariiq sedangkan ucapan Rasulllah SAW setelah itu dinamakan ‘matan’.-red)
(SUMBER: As’ilah Wa Ajwibah Fi Mushthalah al-Hadiits karya Syaikh Mushthafa al-‘Adawy, hal.7)
YANG PERLU ANDA KETAHUI DARI HADITS-4 (Berapa Jumlah Hadits Shahih al-Bukhari Dan Muslim Yang Dikritik?)
TANYA:
Berapa jumlah hadits di dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim Yang Dikritik Imam ad-Daaruquthni?
JAWAB:
Secara global ada sekitar dua ratusan hadits. Terhadap Shahih al-Bukhari sebanyak 110 hadits, termasuk 32 hadits yang juga dikeluarkan oleh Imam Muslim. Dan terhadap Shahih Muslim sebanyak 95 hadits termasuk di dalamnya hadits yang dikeluarkan juga oleh Imam al-Bukhari. Silahkan lihat, mukaddimah kitab Fat-hul Bari karya al-Hafizh Ibn Hajar dan Risaalah Bayna al-Imaamain; Muslim Wa ad-Daaruquthni karya Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali serta Risaalah al-Ilzaamaat Wa at-Tatabbu’ karya Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’iy.
TANYA:
Apakah Imam ad-Daaruquthni mengeritik seluruh aspek?
JAWAB:
Kritikannya tidak meliputi semua aspek, sebagian yang dinyatakannya ada benarnya dan sebagian lagi keliru. Terkadang –bahkan seringkali- ia hanya mengeritik sisi sanad (jalur transmisi) hadits tanpa matan (teks)-nya.
NB:
Sekalipun demikian, adanya kritik ini tidak mengurangi atau pun mempengaruhi kesepakatan umat Islam untuk menerima hadits-hadits dalam shahih al-Bukhari dan Muslim dan penilaian bahwa keduanya adalah yang paling benar setelah al-Qur’an al-Karim-red.
(SUMBER: As’ilah Wa Ajwibah Fi Mushthalah al-Hadiits karya Syaikh Mushthafa al-‘Adawy, hal.37)
Berapa jumlah hadits di dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim Yang Dikritik Imam ad-Daaruquthni?
JAWAB:
Secara global ada sekitar dua ratusan hadits. Terhadap Shahih al-Bukhari sebanyak 110 hadits, termasuk 32 hadits yang juga dikeluarkan oleh Imam Muslim. Dan terhadap Shahih Muslim sebanyak 95 hadits termasuk di dalamnya hadits yang dikeluarkan juga oleh Imam al-Bukhari. Silahkan lihat, mukaddimah kitab Fat-hul Bari karya al-Hafizh Ibn Hajar dan Risaalah Bayna al-Imaamain; Muslim Wa ad-Daaruquthni karya Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali serta Risaalah al-Ilzaamaat Wa at-Tatabbu’ karya Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’iy.
TANYA:
Apakah Imam ad-Daaruquthni mengeritik seluruh aspek?
JAWAB:
Kritikannya tidak meliputi semua aspek, sebagian yang dinyatakannya ada benarnya dan sebagian lagi keliru. Terkadang –bahkan seringkali- ia hanya mengeritik sisi sanad (jalur transmisi) hadits tanpa matan (teks)-nya.
NB:
Sekalipun demikian, adanya kritik ini tidak mengurangi atau pun mempengaruhi kesepakatan umat Islam untuk menerima hadits-hadits dalam shahih al-Bukhari dan Muslim dan penilaian bahwa keduanya adalah yang paling benar setelah al-Qur’an al-Karim-red.
(SUMBER: As’ilah Wa Ajwibah Fi Mushthalah al-Hadiits karya Syaikh Mushthafa al-‘Adawy, hal.37)
YANG PERLU ANDA KETAHUI DARI HADITS-5 (Membatasi Diri Pada Kitab ash-Shahihain, Tepatkah?)
TANYA:
Bagaimana pendapat anda terhadap orang yang hanya membatasi diri pada kitab ash-Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim) saja tanpa mau melirik kepada kitab-kitab sunnah yang lain? Apakah al-Bukhari dan Muslim mensyaratkan untuk mengeluarkan semua hadits yang shahih saja?
JAWAB:
Tidak dapat disangkal lagi, bahwa pendapat itu jauh dari benar bahkan bisa terjerumus ke dalam kesesatan karena sama artinya dengan menolak sunnah Rasulullah SAW.
Al-Bukhari dan Muslim tidak mensyaratkan untuk mengeluarkan semua hadits yang shahih saja. Seperti yang diinformasikan para ulama dari al-Bukhari, bahwa ia pernah berkata, “Aku hafal 100 ribu hadits shahih.” Para ulama itu juga menukil darinya yang mengatakan, “Tapi aku tinggalkan hadits-hadits lain yang shahih karena khawatir terlalu panjang (bertele-tele).”
Al-Bukhari sendiri telah menshahihkan sendiri hadits-hadits yang bukan shahih. Hal ini nampak secara jelas sekali dalam pertanyaan-pertanyaan at-Turmudzi kepadanya seperti yang terdapat di dalam Sunan at-Turmudzi.
Para ulama juga menukil dari Muslim hal serupa di mana ia pernah mengatakan, “Bukan segala sesuatu yang menurutku shahih lalu aku muat di sini.”
Jadi, tidak dapat diragukan lagi kebablasan orang yang hanya membatasi diri pada kitab ash-Shahihain saja dan menolak kitab selain keduanya.
(SUMBER: As’ilah Wa Ajwibah Fii Mustholah al-Hadiits karya Musthafa al-‘Adawi, hal.14-15, no.28)
Bagaimana pendapat anda terhadap orang yang hanya membatasi diri pada kitab ash-Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim) saja tanpa mau melirik kepada kitab-kitab sunnah yang lain? Apakah al-Bukhari dan Muslim mensyaratkan untuk mengeluarkan semua hadits yang shahih saja?
JAWAB:
Tidak dapat disangkal lagi, bahwa pendapat itu jauh dari benar bahkan bisa terjerumus ke dalam kesesatan karena sama artinya dengan menolak sunnah Rasulullah SAW.
Al-Bukhari dan Muslim tidak mensyaratkan untuk mengeluarkan semua hadits yang shahih saja. Seperti yang diinformasikan para ulama dari al-Bukhari, bahwa ia pernah berkata, “Aku hafal 100 ribu hadits shahih.” Para ulama itu juga menukil darinya yang mengatakan, “Tapi aku tinggalkan hadits-hadits lain yang shahih karena khawatir terlalu panjang (bertele-tele).”
Al-Bukhari sendiri telah menshahihkan sendiri hadits-hadits yang bukan shahih. Hal ini nampak secara jelas sekali dalam pertanyaan-pertanyaan at-Turmudzi kepadanya seperti yang terdapat di dalam Sunan at-Turmudzi.
Para ulama juga menukil dari Muslim hal serupa di mana ia pernah mengatakan, “Bukan segala sesuatu yang menurutku shahih lalu aku muat di sini.”
Jadi, tidak dapat diragukan lagi kebablasan orang yang hanya membatasi diri pada kitab ash-Shahihain saja dan menolak kitab selain keduanya.
(SUMBER: As’ilah Wa Ajwibah Fii Mustholah al-Hadiits karya Musthafa al-‘Adawi, hal.14-15, no.28)
YANG PERLU ANDA KETAHUI DARI HADITS-6 (Bagaimana Cara Mengenali Seorang Shahabat?)
TANYA:
Bagaimana kita mengenali seorang shahabat?
JAWAB:
Kita mengenalinya melalui salah satu dari hal-hal berikut:
1. Tawaatur (Pemberitaan tentangnya secara mutawatir alias mustahil terjadi kebohongan karena banyaknya periwayat terpercaya menyatakan hal itu); apakah ada orang yang meragukan Abu Bakar dan ‘Umar bin al-Khaththab RA sebagai shahabat? Jawabannya, tentu, tidak.!
2. Syuhrah (Ketenaran) dan banyaknya riwayat yang mengisahkannya melalui beberapa hal. Contohnya:
a. Dhimaam bin Tsa’lbah RA yang tenar dengan hadits kedatangannya menemui Nabi SAW
b. ‘Ukasyah bin Mihshan RA yang kisahnya dijadikan permisalan/pepatah (yaitu ucapan Rasulullah SAW, “Sabaqoka ‘Ukaasyah’ ; ‘Ukasyah sudah terlebih dulu darimu-red).*
3. Dimuatnya hal itu dalam hadits yang shahih, seperti ada salah satu hadits menyebutkan bahwa Nabi SAW didatangi oleh si fulan bin fulan atau hadits tersebut bersambung sanadnya kepada seorang laki-laki yang menginformasikan bahwa si fulan termasuk orang-orang yang mati syahid dalam perang bersama Rasulullah SAW. Atau informasi apa saja dengan cara tertentu bahwa orang ini atau itu sudah terbukti Shuhbah-nya (bertemu dan beriman dengan Rasulullah SAW dan mati dalam kondisi itu).
4. Penuturan tertulis dari seorang Tabi’i (generasi setelah shahabat) bahwa si fulan adalah seorang shahabat. Yaitu seperti ia mengucapkan, “Aku mendengar salah seorang shahabat Nabi SAW, yaitu si fulan bin fulan.”
5. Penuturan shahabat itu sendiri bahwa ia bertemu Nabi SAW, seperti perkataannya, “Aku mendengar Nabi SAW bersabda begini dan begitu.” Atau “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menemani (bershahabat) dengan Nabi SAW.” Tetapi hal ini perlu beberapa syarat, di antaranya:
a. Ia seorang yang adil pada dirinya
b. Klaimnya tersebut memungkinkan; bila kejadian ia mengklaim hal itu sebelum tahun 110 H maka ini memungkinkan sedangkan bila ia mengklaimnya setelah tahun 110 H, maka klaimnya tersebut tertolak sebab Nabi SAW telah menginformasikan di akhir hayatnya, “Tidakkah aku melihat kalian pada malam ini? Sesungguhnya di atas 100 tahun kemudian (dari malam ini), tidak ada lagi seorang pun yang tersisa di atas muka bumi ini.” (HR.al-Bukhari, I:211, No.116; Muslim, No.2537; Abu Daud, No.348)
Ini merupakan argumentasi paling kuat terhadap orang yang mengklaim nabi Khidhir masih hidup hingga saat ini segaimana klaim kaum Sufi di mana salah satu dari mereka sering mengaku telah bertemu nabi Khidhir dan berbicara secara lisan dengannya.!?
Intermezzo
Seorang laki-laki India bernama Rotan pada abad VI mengaku bahwa dirinya adalah shahabat Nabi SAW dan dia telah dipanjangkan umurnya hingga tanggal tersebut. Kejadian itu sempat menggemparkan masyarakat kala itu. Maka, para ulama pada masanya atau pun setelahnya membantah pengakuannya tersebut. Di antaranya, al-Hafizh adz-Dzahabi dalam bukunya yang berjudul “Kasr Watsan Rotan.”
* Pepatah tersebut diungkapkan orang Arab untuk menyatakan ketidak beruntungann seseorang dalam memperoleh sesuatu karena sudah ada orang lain yang lebih dahulu memperolehnya. Seperti misalnya, bila ada seseorang memberikan hadiah kepada seseorang yang bisa menjawab pertanyaannya, lalu ada yang menjawabnya sedangkan hadiah itu hanya untuk satu orang saja. Kemudian ada orang lain meminta diberi pertanyaan lagi agar dapat menjawabnya dan memperoleh hadiah. Maka orang yang memberikan itu tadi, mengatakan kepadanya pepatah tersebut. Artinya, terlambat, si fulan sudah terlebih dahulu (kamu sudah keduluan sama si fulan.!!), wallahu a’lam-red
(SUMBER: Fataawa Hadiitsiyyah, Syaikh Sa’d bin ‘Abdullah Alu Humaid, hal.30-31)
Bagaimana kita mengenali seorang shahabat?
JAWAB:
Kita mengenalinya melalui salah satu dari hal-hal berikut:
1. Tawaatur (Pemberitaan tentangnya secara mutawatir alias mustahil terjadi kebohongan karena banyaknya periwayat terpercaya menyatakan hal itu); apakah ada orang yang meragukan Abu Bakar dan ‘Umar bin al-Khaththab RA sebagai shahabat? Jawabannya, tentu, tidak.!
2. Syuhrah (Ketenaran) dan banyaknya riwayat yang mengisahkannya melalui beberapa hal. Contohnya:
a. Dhimaam bin Tsa’lbah RA yang tenar dengan hadits kedatangannya menemui Nabi SAW
b. ‘Ukasyah bin Mihshan RA yang kisahnya dijadikan permisalan/pepatah (yaitu ucapan Rasulullah SAW, “Sabaqoka ‘Ukaasyah’ ; ‘Ukasyah sudah terlebih dulu darimu-red).*
3. Dimuatnya hal itu dalam hadits yang shahih, seperti ada salah satu hadits menyebutkan bahwa Nabi SAW didatangi oleh si fulan bin fulan atau hadits tersebut bersambung sanadnya kepada seorang laki-laki yang menginformasikan bahwa si fulan termasuk orang-orang yang mati syahid dalam perang bersama Rasulullah SAW. Atau informasi apa saja dengan cara tertentu bahwa orang ini atau itu sudah terbukti Shuhbah-nya (bertemu dan beriman dengan Rasulullah SAW dan mati dalam kondisi itu).
4. Penuturan tertulis dari seorang Tabi’i (generasi setelah shahabat) bahwa si fulan adalah seorang shahabat. Yaitu seperti ia mengucapkan, “Aku mendengar salah seorang shahabat Nabi SAW, yaitu si fulan bin fulan.”
5. Penuturan shahabat itu sendiri bahwa ia bertemu Nabi SAW, seperti perkataannya, “Aku mendengar Nabi SAW bersabda begini dan begitu.” Atau “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menemani (bershahabat) dengan Nabi SAW.” Tetapi hal ini perlu beberapa syarat, di antaranya:
a. Ia seorang yang adil pada dirinya
b. Klaimnya tersebut memungkinkan; bila kejadian ia mengklaim hal itu sebelum tahun 110 H maka ini memungkinkan sedangkan bila ia mengklaimnya setelah tahun 110 H, maka klaimnya tersebut tertolak sebab Nabi SAW telah menginformasikan di akhir hayatnya, “Tidakkah aku melihat kalian pada malam ini? Sesungguhnya di atas 100 tahun kemudian (dari malam ini), tidak ada lagi seorang pun yang tersisa di atas muka bumi ini.” (HR.al-Bukhari, I:211, No.116; Muslim, No.2537; Abu Daud, No.348)
Ini merupakan argumentasi paling kuat terhadap orang yang mengklaim nabi Khidhir masih hidup hingga saat ini segaimana klaim kaum Sufi di mana salah satu dari mereka sering mengaku telah bertemu nabi Khidhir dan berbicara secara lisan dengannya.!?
Intermezzo
Seorang laki-laki India bernama Rotan pada abad VI mengaku bahwa dirinya adalah shahabat Nabi SAW dan dia telah dipanjangkan umurnya hingga tanggal tersebut. Kejadian itu sempat menggemparkan masyarakat kala itu. Maka, para ulama pada masanya atau pun setelahnya membantah pengakuannya tersebut. Di antaranya, al-Hafizh adz-Dzahabi dalam bukunya yang berjudul “Kasr Watsan Rotan.”
* Pepatah tersebut diungkapkan orang Arab untuk menyatakan ketidak beruntungann seseorang dalam memperoleh sesuatu karena sudah ada orang lain yang lebih dahulu memperolehnya. Seperti misalnya, bila ada seseorang memberikan hadiah kepada seseorang yang bisa menjawab pertanyaannya, lalu ada yang menjawabnya sedangkan hadiah itu hanya untuk satu orang saja. Kemudian ada orang lain meminta diberi pertanyaan lagi agar dapat menjawabnya dan memperoleh hadiah. Maka orang yang memberikan itu tadi, mengatakan kepadanya pepatah tersebut. Artinya, terlambat, si fulan sudah terlebih dahulu (kamu sudah keduluan sama si fulan.!!), wallahu a’lam-red
(SUMBER: Fataawa Hadiitsiyyah, Syaikh Sa’d bin ‘Abdullah Alu Humaid, hal.30-31)
YANG PERLU ANDA KETAHUI DARI HADITS-7 (Seputar Nisbat Buku Musnad asy-Syafi’i)
TANYA:
Di banyak perpustakaan terdapat kitab dengan judul ‘Musnad al-Imam asy-Syafi’i’; apakah benar penisbatan kitab tersebut kepada beliau?
JAWAB:
Kitab yang berjudul ‘Musnad al-Imam asy-Syafi’i’ini memang benar nisbatnya kepada riwayat Imam asy-Syafi’i terhadap hadits-hadits tersebut akan tetapi Imam asy-Syafi’i sendiri tidak pernah mengarang Musnad ini. Musnad ini dikarang oleh salah seorang ulama Khurasan yang menghimpunnya dari kitab-kitab Imam asy-Syafi’i seperti al-Umm dan lainnya. Setiap hadits yang diriwayatkan asy-Syafi’i dengan sanadnya kumpulkan oleh orang ini lalu disusunnya berdasarkan musnad, lantas dinamainya dengan Musnad asy-Syafi’i.
Ini sama persis dengan kitab lain, ‘Musnad Abi Daud ath-Thayalisi’ di mana ath-Thayalisi sendiri tidak pernah mengarangnya tetapi ia dikarang oleh muridnya Yunus bin Habib.
(SUMBER: Fataawa Hadiitsiyyah karya Syaikh Sa’d bin Abdullah Al Humaid, juz.I, hal.200)
Di banyak perpustakaan terdapat kitab dengan judul ‘Musnad al-Imam asy-Syafi’i’; apakah benar penisbatan kitab tersebut kepada beliau?
JAWAB:
Kitab yang berjudul ‘Musnad al-Imam asy-Syafi’i’ini memang benar nisbatnya kepada riwayat Imam asy-Syafi’i terhadap hadits-hadits tersebut akan tetapi Imam asy-Syafi’i sendiri tidak pernah mengarang Musnad ini. Musnad ini dikarang oleh salah seorang ulama Khurasan yang menghimpunnya dari kitab-kitab Imam asy-Syafi’i seperti al-Umm dan lainnya. Setiap hadits yang diriwayatkan asy-Syafi’i dengan sanadnya kumpulkan oleh orang ini lalu disusunnya berdasarkan musnad, lantas dinamainya dengan Musnad asy-Syafi’i.
Ini sama persis dengan kitab lain, ‘Musnad Abi Daud ath-Thayalisi’ di mana ath-Thayalisi sendiri tidak pernah mengarangnya tetapi ia dikarang oleh muridnya Yunus bin Habib.
(SUMBER: Fataawa Hadiitsiyyah karya Syaikh Sa’d bin Abdullah Al Humaid, juz.I, hal.200)
YANG PERLU ANDA KETAHUI DARI HADITS-8 (MENGENAL TABI’IN)
Definisi Tabi’i
Secara bahasa kata Tabi’in merupakan bentuk jamak (Plural) dari Tabi’i atau Tabi’. Tabi’ merupakan Ism Fa’il dari kata kerja Tabi’a. Bila dikatakan, Tabi’ahu fulan, maknanya Masya Khalfahu (Si fulan berjalan di belakangnya).
Secara istilah adalah orang yang bertemu dengan shahabat dalam keadaan Muslim dan meninggal dunia dalam Islam pula. Ada yang mengatakan, Tabi’i adalah orang yang menemati shahabat.
Faedahnya
Di antara faedah mengenal Tabi’in adalah agar dapat membedakan mana hadits Mursal (ucapan Tabi’i yang meriwayatkan langsung dari Nabi SAW tanpa menyebutkan shahabat) dan mana hadits Muttashil (bersambung sanadnya hingga kepada Nabi SAW).
Thabaqat Tabi’in
Para ulama berbeda pendapat mengenai Thabaqat (tingkatan) Tabi’in. Karena itu, mereka mengklasifikasikannya berdasarkan pandangan masing-masing, di antaranya:
a. Imam Muslim menjadikannya tiga Thabaqat
b. Ibn Sa’d menjadikannya empat Thabaqat
c. Al-Hakim menjadikannya lima belas Thabaqat, yang pertamanya adalah orang yang bertemu dengan sepuluh shahabat yang diberi kabar gembira untuk masuk surga.
Siapa Mukhadhramin?
Kata Mukhadhramin merupakan bentuk jamak (plural) dari kata Mukhadhram. Pengertiannya adalah orang yang hidup pada masa Jahiliyah dan masa Nabi SAW lalu masuk Islam akan tetapi ia tidak sempat melihat beliau SAW. Menurut pendapat yang shahih, Mukhadhramin dimasukkan ke dalam kategori kalangan Tabi’in.
Jumlah mereka ditaksir sebanyak 20 orang seperti yang dihitung oleh Imam Muslim.
Akan tetapi pendapat yang tepat, bahwa jumlah mereka lebih dari itu, di antara nama mereka terdapat Abu ‘Utsman an-Nahdi dan al-Aswad bin Yazid an-Nakha’iy.
Siapa Tujuh Fuqaha?
Di antara deretan para tokoh besar Tabi’in adalah mereka yang disebut al-Fuqaha as-Sab’’ah (Tujuh Fuqaha). Mereka-lah para ulama besar kalangan Tabi’in dan semuanya berasal dari Madinah. Mereka adalah:
1. Sa’id bin al-Musayyib
2. al-Qasim bin Muhammad
3. ‘Urwah bin az-Zubair
4. Kharijah bin Zaid
5. Abu Salamah bin ‘Abdurrahman
6. ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah
7. Sulaiman bin Yasar
(Dalam hal ini, Ibn al-Mubarak memasukkan Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar menggantikan Abu Salamah. Sedangkan Abu az-Zinad memasukkan Abu Bakar bin ‘Abdurrahman menggantikan dua nama; Salim dan Abu Salamah)
Siapa Kalangan Tabi’in Yang Paling Utama?
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai siapa di antara kalangan Tabi’in tersebut yang paling utama. Pendapat yang masyhur bahwa yang paling utama di antara mereka adalah Sa’id bin al-Musayyib. Abu ‘Abdillah, Muhammad bin Khafif asy-Syairazi berkata, “Ahli Madinah mengatakan, Tabi’in paling utama adalah Sa’id bin al-Musayyab. Ahli Kufah mengatakan, ‘Uwais al-Qarni.’ Ahli Bashrah mengatakan, ‘al-Hasan al-Bashari.’”
Siapa Kalangan Tabi’iyyat Yang Paling Utama?
Abu Bakar bin Abu Daud berkata, “Dua wanita tokoh utama kalangan Tabi’iyyat (para wanita kalangan Tabi’in) adalah Hafshoh binti Sirin dan ‘Amrah binti ‘Abdurrahman. Setelah itu, Ummu ad-Darda’.”*
Karya-Karya Yang Paling Masyhur Tentang Tabi’in
Di antaranya adalah kitab Ma’rifah at-Tabi’in karya Abu al-Mithraf bin Futhais al-Andalusi.**
* Yang dimaksud di sini adalah Ummu ad-Darda’ ash-Shugra (isteri muda Abu ad-Darda’) yang bernama Hujaimah (ada yang menyebutnya, Juhaimah). Sedangkan Ummu ad-Darda’ al-Kubra (isteri tua Abu ad-Darda’) bernama Khairah yang merupakan seorang wanita shahabat.
** Lihat, ar-Risalah al-Mustathrifah, dari hal. 105
(SUMBER: Taysir Mushtholah al-Hadits karya Dr. Mahmud ath-Thahhan, hal.202-203, penerbit Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, Cet.IX, tahun 1997/1417 H)
Secara bahasa kata Tabi’in merupakan bentuk jamak (Plural) dari Tabi’i atau Tabi’. Tabi’ merupakan Ism Fa’il dari kata kerja Tabi’a. Bila dikatakan, Tabi’ahu fulan, maknanya Masya Khalfahu (Si fulan berjalan di belakangnya).
Secara istilah adalah orang yang bertemu dengan shahabat dalam keadaan Muslim dan meninggal dunia dalam Islam pula. Ada yang mengatakan, Tabi’i adalah orang yang menemati shahabat.
Faedahnya
Di antara faedah mengenal Tabi’in adalah agar dapat membedakan mana hadits Mursal (ucapan Tabi’i yang meriwayatkan langsung dari Nabi SAW tanpa menyebutkan shahabat) dan mana hadits Muttashil (bersambung sanadnya hingga kepada Nabi SAW).
Thabaqat Tabi’in
Para ulama berbeda pendapat mengenai Thabaqat (tingkatan) Tabi’in. Karena itu, mereka mengklasifikasikannya berdasarkan pandangan masing-masing, di antaranya:
a. Imam Muslim menjadikannya tiga Thabaqat
b. Ibn Sa’d menjadikannya empat Thabaqat
c. Al-Hakim menjadikannya lima belas Thabaqat, yang pertamanya adalah orang yang bertemu dengan sepuluh shahabat yang diberi kabar gembira untuk masuk surga.
Siapa Mukhadhramin?
Kata Mukhadhramin merupakan bentuk jamak (plural) dari kata Mukhadhram. Pengertiannya adalah orang yang hidup pada masa Jahiliyah dan masa Nabi SAW lalu masuk Islam akan tetapi ia tidak sempat melihat beliau SAW. Menurut pendapat yang shahih, Mukhadhramin dimasukkan ke dalam kategori kalangan Tabi’in.
Jumlah mereka ditaksir sebanyak 20 orang seperti yang dihitung oleh Imam Muslim.
Akan tetapi pendapat yang tepat, bahwa jumlah mereka lebih dari itu, di antara nama mereka terdapat Abu ‘Utsman an-Nahdi dan al-Aswad bin Yazid an-Nakha’iy.
Siapa Tujuh Fuqaha?
Di antara deretan para tokoh besar Tabi’in adalah mereka yang disebut al-Fuqaha as-Sab’’ah (Tujuh Fuqaha). Mereka-lah para ulama besar kalangan Tabi’in dan semuanya berasal dari Madinah. Mereka adalah:
1. Sa’id bin al-Musayyib
2. al-Qasim bin Muhammad
3. ‘Urwah bin az-Zubair
4. Kharijah bin Zaid
5. Abu Salamah bin ‘Abdurrahman
6. ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah
7. Sulaiman bin Yasar
(Dalam hal ini, Ibn al-Mubarak memasukkan Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar menggantikan Abu Salamah. Sedangkan Abu az-Zinad memasukkan Abu Bakar bin ‘Abdurrahman menggantikan dua nama; Salim dan Abu Salamah)
Siapa Kalangan Tabi’in Yang Paling Utama?
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai siapa di antara kalangan Tabi’in tersebut yang paling utama. Pendapat yang masyhur bahwa yang paling utama di antara mereka adalah Sa’id bin al-Musayyib. Abu ‘Abdillah, Muhammad bin Khafif asy-Syairazi berkata, “Ahli Madinah mengatakan, Tabi’in paling utama adalah Sa’id bin al-Musayyab. Ahli Kufah mengatakan, ‘Uwais al-Qarni.’ Ahli Bashrah mengatakan, ‘al-Hasan al-Bashari.’”
Siapa Kalangan Tabi’iyyat Yang Paling Utama?
Abu Bakar bin Abu Daud berkata, “Dua wanita tokoh utama kalangan Tabi’iyyat (para wanita kalangan Tabi’in) adalah Hafshoh binti Sirin dan ‘Amrah binti ‘Abdurrahman. Setelah itu, Ummu ad-Darda’.”*
Karya-Karya Yang Paling Masyhur Tentang Tabi’in
Di antaranya adalah kitab Ma’rifah at-Tabi’in karya Abu al-Mithraf bin Futhais al-Andalusi.**
* Yang dimaksud di sini adalah Ummu ad-Darda’ ash-Shugra (isteri muda Abu ad-Darda’) yang bernama Hujaimah (ada yang menyebutnya, Juhaimah). Sedangkan Ummu ad-Darda’ al-Kubra (isteri tua Abu ad-Darda’) bernama Khairah yang merupakan seorang wanita shahabat.
** Lihat, ar-Risalah al-Mustathrifah, dari hal. 105
(SUMBER: Taysir Mushtholah al-Hadits karya Dr. Mahmud ath-Thahhan, hal.202-203, penerbit Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, Cet.IX, tahun 1997/1417 H)
YANG PERLU ANDA KETAHUI DARI HADITS-9 (Mana Hadits Yang Paling Shahih?)
TANYA:
Saya seorang pemuda yang memiliki ghirah tinggi terhadap Islam, menjaga shalat dan rukun-rukunnya. Pertanyaan saya, manakah hadits yang paling shahih.?
JAWAB:
Kami katakan, kami memohon kepada Allah SWT bagi kami dan seluruh saudara-saudara kita, kaum Muslimin agar dianugerai ketegaran untuk tetap istiqamah.
Ada pun mengenai hadits-hadits shahih, maka melalui pertanyaan anda, nampak bagi saya, bahwa anda adalah seorang penuntut ilmu pemula. Orang seperti anda, tentu tidak bisa membedakan sendiri, mana hadits yang shahih dan mana yang tidak melalui jalur kajian sanad.
Oleh karena itu, anda harus antusias untuk menggunakan kitab-kitab yang konsisten memilah mana hadits yang shahih. Bila anda menemukan sebuah hadits dirujuk kepada kitab ash-Shahihain (Shahih al Bukhari dan Muslim) atau salah satu dari keduanya, maka ini baik. Atau bila anda mendapatkan salah seorang ulama yang diakui kapasitas keilmuannya menshahihkannya, maka ini baik. Di antaranya, pentash-hihan yang dilakukan Syaikh Nashiruddin al Albani, sekalipun tidak seorang pun yang dapat terhindar dari kritikan dan sorotan. Yang penting, beliau memang demikian mengabdikan dirinya untuk Sunnah Nabi SAW.
Orang seperti anda juga perlu mengambil buku-buku yang konsisten memilah mana hadits yang shahih. Artinya, anda tidak boleh menerima begitu saja setiap hadits yang diriwayatkan, menyampaikan sebuah hadits yang dikatakan kepada anda atau menerima hadits dari buku apa saja yang anda lihat. Hendaknya anda berhati-hati.!! Sebab Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang menyampaikan sebuah hadits dariku, yang ia melihat dirinya telah berdusta (dalam hal itu), maka ia termasuk salah seorang tukang dusta.”. Dalam sebagian riwayat disebutkan, ”…maka ia termasuk salah seorang tukang banyak dusta.”
Dalam hal ini, silahkan merujuk kepada mukaddimah Shahih Muslim, sebab beliau mengetengahkan apa yang semestinya dijadikan dalil dalam masalah seperti ini, khususnya dari pendapat-pendapat para ulama dalam memperingatkan tindakan meriwayatkan hadits tanpa mengetahui mana yang shahih dan mana yang tidaknya.? Sebab hal ini dianggap sebagai ‘mengatakan sesuatu terhadap Allah dan Nabi-Nya tanpa ilmu.” (na’uzubillahi min dzalik-red)
(SUMBER: Fatawa Haditsiyyah karya Syaikh Sa’d bin ‘Abdullah Al Humaid, hal.160-161)
Saya seorang pemuda yang memiliki ghirah tinggi terhadap Islam, menjaga shalat dan rukun-rukunnya. Pertanyaan saya, manakah hadits yang paling shahih.?
JAWAB:
Kami katakan, kami memohon kepada Allah SWT bagi kami dan seluruh saudara-saudara kita, kaum Muslimin agar dianugerai ketegaran untuk tetap istiqamah.
Ada pun mengenai hadits-hadits shahih, maka melalui pertanyaan anda, nampak bagi saya, bahwa anda adalah seorang penuntut ilmu pemula. Orang seperti anda, tentu tidak bisa membedakan sendiri, mana hadits yang shahih dan mana yang tidak melalui jalur kajian sanad.
Oleh karena itu, anda harus antusias untuk menggunakan kitab-kitab yang konsisten memilah mana hadits yang shahih. Bila anda menemukan sebuah hadits dirujuk kepada kitab ash-Shahihain (Shahih al Bukhari dan Muslim) atau salah satu dari keduanya, maka ini baik. Atau bila anda mendapatkan salah seorang ulama yang diakui kapasitas keilmuannya menshahihkannya, maka ini baik. Di antaranya, pentash-hihan yang dilakukan Syaikh Nashiruddin al Albani, sekalipun tidak seorang pun yang dapat terhindar dari kritikan dan sorotan. Yang penting, beliau memang demikian mengabdikan dirinya untuk Sunnah Nabi SAW.
Orang seperti anda juga perlu mengambil buku-buku yang konsisten memilah mana hadits yang shahih. Artinya, anda tidak boleh menerima begitu saja setiap hadits yang diriwayatkan, menyampaikan sebuah hadits yang dikatakan kepada anda atau menerima hadits dari buku apa saja yang anda lihat. Hendaknya anda berhati-hati.!! Sebab Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang menyampaikan sebuah hadits dariku, yang ia melihat dirinya telah berdusta (dalam hal itu), maka ia termasuk salah seorang tukang dusta.”. Dalam sebagian riwayat disebutkan, ”…maka ia termasuk salah seorang tukang banyak dusta.”
Dalam hal ini, silahkan merujuk kepada mukaddimah Shahih Muslim, sebab beliau mengetengahkan apa yang semestinya dijadikan dalil dalam masalah seperti ini, khususnya dari pendapat-pendapat para ulama dalam memperingatkan tindakan meriwayatkan hadits tanpa mengetahui mana yang shahih dan mana yang tidaknya.? Sebab hal ini dianggap sebagai ‘mengatakan sesuatu terhadap Allah dan Nabi-Nya tanpa ilmu.” (na’uzubillahi min dzalik-red)
(SUMBER: Fatawa Haditsiyyah karya Syaikh Sa’d bin ‘Abdullah Al Humaid, hal.160-161)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar